Suparjo Sujadi, S.H, M.H.
22 Apr 2003, 19:00:45 WIB - pemantauperadilan.com
“Tegakkanlah hukum dan keadilan
sebelum langit runtuh”
I. PENDAHULUAN
Tulisan ini dimaksudkan
untuk memberikan deskripsi yang menguraikan
perkembangan
bantuan hukum dan peranan para pengacara
dalam kerangka pelaksanaan
penegakkan hukum
di Indonesia yang sudah berlangsung sejak jaman kolonial hingga munculnya rancangan
undang-undang (RUU) tentang Profesi Advokat. Kondisi penegakkan hukum yang hingga
pasca reformasi semakin memprihatinkan patut menjadi bahan perenungan yang mendalam,
meskipun ada adagium yang sudah diketahui secara luas “Tegakkan hukum
walaupun langit
runtuh” nampaknya harapan itu sangat jauh dari kenyataan yang dihadapi.
Berhadapan dengan kondisi
penegakkan hukum dan keadilan di negeri ini
kiranya
paradigma penegakkan hukum sudah
harus dirubah dari adagium di atas menjadi
“Tegakkanlah hukum sebelum langit runtuh”, karena ketika langit runtuh
justru manusialah
yang akan diadili menurut kaedah agama. Kaitan runtuhnya langit (kiamat)
bahkan diyakini
terjadi karena sudah tidak adanya keadilan di muka bumi.
Dalam kerangka penegakkan
hukum dan keadilan tersebut banyak teori dan kerangka
konsepsi yang menempatkan peranan
bantuan hukum yang diberikan dalam proses-proses
hukum dan litigasi. Peranan
pengacara sebagai fokus
pelaksanaan pemberian bantuan hukum
memiliki daya tarik untuk dikaji secara
mendalam dan komperensif dalam sistematika
penegakkan hukum dan keadilan.
Kajian singkat ini tidak dapat secara komperensif menyajikan
seluruh aspek yang
terkandung di dalam bantuan hukum
dan peranan pengacara itu sendiri maupun dalam
lingkup yang lebih luas yaitu dalam rangka penegakkan hukum yang menjadi sasaran praktek
kepengacaraan. Namun sebagai fenomena aktual[1]
yang cukup menarik untuk menjadi
bahan
diskusi mengenai peranan dan debat mengenai posisi dan peranan
pengacara dalam rangka
memberikan bantuan hukum adalah kasus yang terjadi pada pengacara Elsa
Syarif yang sedang
mendampingi Hutomo Mandala Putra
(Tommy Soeharto). Oleh asosiasi pengacara dimana Elsa
Syarif bernaung (Ikadin) telah dinyatakan bahwa yang bersangkutan
direkomendasikan patut
diduga telah melakukan pelanggaran kode etik, karena dianggap telah mempengaruhi saksi
(Satpam Apartemen Cemara yang notabene bekerja untuk Tommy) dalam kasus
Tommy dengan
memberikan sejumlah uang. Setelah mendapatkan putusan terhadap pelanggaran
etik tersebut
Elsa Syarif masih mendampingi Tommy
dalam sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Polemik terhadap
kehadiran Elsa Syarif tersebut kemudian
menimbulkan berbagai
pendapat dari kalangan praktisi pengacara, pakar hukum dan mass media yang berposisi
mempermasalahkan dan tidak mempermasalahkan posisi Elsa Syarif dalam persidangan. Hakim
yang memimpin sidang tersebut termasuk yang tidak mempermasalahkan posisi
Elsa Syarif
yang sudah memperoleh putusan patut diduga telah melanggar kode etik
pengacara. Dari kasus
tersebut maka tulisan ini mencoba memberikan kajian dari aspek historis
perkembangan bantuan hukum dan peranan pengacara dan dari berbagai
pandangan pakar
hukum serta analisa ringkas terhadap
aspek-aspek yang terkait dengan obyek
kajian ini.
II. TINJAUAN HISTORIS
BANTUAN HUKUM DAN PENGACARA DI INDONESIA
Seperti yang pernah ditulis Soerjono Soekanto[2]
mengenai bantuan hukum di Indonesia
sudah dimulai sejak jaman kolonial
dan sudah ada berbagai peraturan yang mengatur mengenai
bantuan hukum dan peranan pengacara, yaitu:
A. Perundang-undangan sebelum
1945
1. Reglement of de
rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indie (Stb. 1847
No.23 jo. Stb. 1848 No.57);
2. Bepalingen Betreffende het
Kostuum der Regterlijke Ambtenaren en dat der Advocaten,
Procureuurs en Deuwaarders (Stb. 1848 No.8 jo. Stb.1849. No46);
3. Vertegenwoordiging van den
Lande in Rechten (Stb. 1922 No.522);
4. Regeling van de Bijtand
en de Vertegen woordiging van Partijen
in de Burgerlijke
Zaken voor Landraden (Stb. 1927 No.196);
5. Het Herziene Indonesische
Reglement (Stb.1941 No.44)
B. Perundang-undangan setelah
1945
1. Undang-Undang No.1 tahun
1950 dan Undang-Undang No. 13 tahun 1965;
2. Undang-Undang No.14 tahun 1970
3. Undang-Undang No. 18 tahun 1981
4. Berbagai Surat Edaran
Mahkamah Agung RI
Berbagai peraturan yang
mengatur pemberian bantuan hukum dan
peranan
pengacara[3]
tersebut banyak dinilai sarat dengan muatan politis, karena
pada prinsipnya
menghendaki minimalisasi kesempatan
untuk berperan sebagai pengacara yang memberikan
bantuan hukum
[4]
.
Perkembangan selanjutnya pada dua dasawarsa 1980 hingga 1990 justru timbul berbagai
macam pergeseran di kalangan intern organisasi kepengacaraan. Fenomena yang
dapat diajukan
adalah munculnya asosiasi pengacara
baru sesudah era PERADIN antara lain IKADIN,
AAI,
PKHI dan lain-lain.
Untuk melihat berbagai permasalahan yang muncul dalam pemberian bantuan
hukum
dan peranan pengacara dalam kajian ini dilakukan melalui koridor
pandangan-pandangan
maupun cita-cita mengenai bantuan hukum
menurut Cappelletti dan Gordley yang memberikan
gambaran periodisasi:
- pada masa Romawi , bantuan
hukum merupakan bagian dari patronase politik
- pada masa abad menengah,
bantuan hukum menjadi bagian dari bidang moral - sesudah revolusi Perancis, maka
bantuan hukum menjadi bagian dari proses hukum;
artinya pada waktu itu kepada warga masyarakat diberikan hak yang sama
untuk
berurusan dengan hakim
Selain itu ada pula fenomena baru yang menjadi bahan polemik berkaitan
dengan
timbulnya ungkapan sinisme masyrakat
terhadap peranan pengacara “Maju tak Gentar
membela yang Bayar”. Kondisi tersebut juga pernah terjadi Amerika Serikat,
yang
memunculkan ungkapan yang kurang lebih sama yaitu ”Justice for all who can pay”.
III. PERMASALAHAN BANTUAN HUKUM DAN PERANAN PENGACARA DI
INDONESIA
Mencermati kondisi penegakkan hukum
dan keadilan yang semakin memprihatinkan
sebagaimana dalam uraian terdahulu dan aspek-aspek terkait dengan kondisi
tersebut
khususnya dengan peranan pengacara maka dalam kajian ini dapat dijelaskan
melalui pemikiran
Marc Galanter yang mengembangkan konsep-konsep terkait dengan “Justice for all”, melalui
pendekatan sosiologis. Marc Galanter melakukan analisis yang didasarkan
pada keadaan
masyarakat dan membuat dua pihak yaitu golongan “the haves”, dan “the have nots”.
The haves yang merupakan golongan masyarakat yang kaya dan memiliki
kekuasaan
dan menikmati sejumlah keuntungan pada waktu berperkara di pengadilan itu kemudian oleh
Galanter diberikan julukan “repeat
players” dan bagi the have nots sebagai one shooters.[5]
Selanjutnya berkenaan dengan
korelasi dua golongan masyarakat tersebut peranan
pengacara secara lebih jelas diungkapkan oleh Galanter bahwa The haves tentunya memiliki
akses yang lebih luas untuk memperoleh pengacara kelas satu karena mampu
membayar dengan
harga yang lebih mahal. Sedangkan bagi the have nots hal itu tentunya tidak
dapat dilakukan.
Menurut Rijkschroeff, the haves sebagai repeat players yang akan
selalu didampingi pengacara
akan lebih memperkuat posisinya (dalam memenangkan perkara di persidangan).
Oleh karena
mereka secara teratur menyelesaikan sengketa di pengadilan karena
difasilitasi oleh pengacara
yang memiliki keahlian yang handal.[6]
Menurut Griffits[7]
di dalam banyak hal banyak pembela
yang memiliki spesialisasi
keahlian memiliki relasi dengan repeat players. Namun masih ada pembela-pembela spesialis
bidang-bidang tertentu yang memiliki
hubungan dengan one shooters. Kategori pembela-
pembela yang disebut terakhir ini memperlihatkan sejumlah karakteristik,
antara lain danya
kesulitan untuk mendapatkan klien-klien baru, karena diantara one shooters
itu tidak ada
hubungan antara satu dengan yang lain.
Dari kerangka tersebut maka selanjutnya dapat dijelaskan peranan pengacara
di
Indonesia dalam memberikan bantuan hukum dalam berbagai kasus yang terjadi
terkait dengan
sisnisme “Maju tak gentar membela yang bayar” dan Kasus Elsa Syarif.
Golongan the haves di Indonesia juga
senantiasa memperoleh bantuan hukum dari
pengacara handal dan bahkan dalam
bentuk kolektif (tim pengacara handal)[8]
. Seperti dalam
kasus Tommy dan Para konglomerat
yang terjerat kasus penyalahgunaan BLBI yang hingga kini
penanganan kasusnya entah bagaimana bukankah dapat diperjelas dengan
peranan dan kriteria
pengacaranya sesuai posisi the haves
mereka itu? Bahkan dalam kasus Elsa Syarif dapat menjadi
ukuran bagaimana uang dan kekuasaan klien yang dibela mampu memberikan
motivasi pada
Elsa untuk tetap maju tak gentar dan mengabaikan kode etik yang dihantam
dan telah diterobos
sedemikian rupa?
IV. PENUTUP
Sebagai penutup kajian ini ada bahan renungan dalam mempertanyakan peranan
pengacara
dalam penegakkan hukum dan keadilan
yang pernah saya sampaikan melalui tulisan saya
dalam editorial notes UI-Law Journal “Many theories explain regarding law,
justice, and civilization.
They have correlation each other,
law is mentioned to reach
justice and in the other side is that
law
operated and respected only in the civilized society. So we can note that
if we could attain and feel justice
only in the civilized society, civilized country, and civilized world.”[9]
Jadi kita tidak dapat terlalu
berlebihan mengharapkan peranan pengacara dalam
memberikan bantuan hukum mengikuti kerangka penegakkan hukum dan keadilan
dalam
kondisi saat ini, sebelum paradigma
penegakkan hukum “Tegakkan hukum walaupun langit
runtuh”, sudah harus dirubah dengan paradigma “Tegakkanlan Hukum dan Keadilan sebelum
langit runtuh”, runtuhnya langit kareana tak adanya keadilan di bumi ini..
Daftar Pustaka
Rijkschroeff, , B.R.
Sosiologi Hukum dan Sosiologi Hukum.
[terj. Drs. F. Tengker, S.H, CN],
Bandung:Mandar Maju, 2001, hal 183.dst
S.Lev, Daniel. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan.
Jakarta:LP3S, 1990,
dalam Bab 4 Bab 5, Bab7 dan Bab 11
Soekanto, Soerjono. Bantuan Hukum suatu Tinjauan Sosio Yuridis.
Jakarta:Ghalia Indonesia,1983
Sujadi, Suparjo. “Law, Civilization and Justice” , Editorial Note
dalam UI-Law Journal Vol.3,
No.2 , Oktober 2001
[1]
Selain itu masih banyak kasus
yangmenyorot peranan pengacara dalam memberikan
bantuan hukum yang layak diajukan sebagai contoh yang signifikan
seperti putusan “contemp of
court” yang pernah menimpa Adnan Buyung Nasution, serta larangan merangkap pegawai
negeri dengan profesi sebagai pengacara praktek yang pernah dialami Todung
Mulya Lubis
(lihat Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.02/1971 jo. PP No.12 tahun 1952,
Pasal 2 dan 3).
[2]
Selengkapnya lihat dalam Soerjono
Soekanto, Bantuan Hukum suatu Tinjauan
Sosio
Yuridis, Jakarta:Ghalia Indonesia,1983
[3]
Dalam tulisan ini tidak membedakan dari segi
peristilahan pemberi bantuan hukum
seperti yang pernah ada pada masa kolonial yang membedakan advocaat dengan
Procureruur, para
pokrol bambu
[4]
Lihat juga Daniel S.Lev, , Hukum dan
Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
Jakarta:LP3S, 1990, dalam Bab 4 Bab 5, Bab7 dan Bab 11
[5]
Marc Galanter dalam B.R. Rijkschroeff, Sosiologi, Hukum dan
Sosiologi Hukum [terj. Drs.
F. Tengker, S.H, CN], Bandung:Mandar Maju, 2001, hal 183.dst
[6]
B.R. Rijkschroeff, ibid, hal. 195
[7]
Griffits dalam Rijkschroeff, ibid.
hal 197
[8]
Kriteria handal di sini perlu
dirinci lebih lanjut, karena fenomena di Indonesia handal
tidak semata-mata pada keahlian penguasaan hukum dan pengembangan
teori-teori dan
konsepsi hukum, namun juga handal dalam “bernegosiasi dan kedekatan akses”
dengan polisi,
jaksa, hakim, politisi. Bahkan yang laku keras adalah kriteria negosiasi
ukuran kedekatan akses
itu justru menjadi ukuran utama dalam memilih pengacara dan tarif jasa yang
diberikan.
[9]
Suparjo Sujadi, “Law, Civilization
and Justice” , Editorial Note dalam
UI-Law Journal
Vol.3, No.2 , Oktober 2001