A. Pengertian Penemuan
Hukum
Penemuan
hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara
praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi
problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan
dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau
sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian
terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan
hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang
terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal
menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan
kaidah-kaidah hukum.
Penemuan
hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang
hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak.
Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan
profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan
hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai
masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara
itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut
adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah,
adalah situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum
lengkap atau tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu
perkara atau masalah hukum. Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak
dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Artinya,
seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan
perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam
menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan
hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.
Tindakan seorang ahli
hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan
hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum,
seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau
fungsi utama, diantaranya yaitu :
a.
Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit
(perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat,
dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku,
cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri.
Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan
perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur
semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat
untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
b.
Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan,
atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan
perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab
adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan
perkembangan didalam masyarakat.
Penemuan
hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang
ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit,
juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das
sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein)
tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan
atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit
Salah
satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia
atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan
guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara
layak. Pelaksanaan hukum sendiri dapat berlangsung secara damai, normal tetapi
dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah
dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum
inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan. Dalam hal penegakan hukum tersebut,
setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya
peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh
menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang
pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Tanpa kepastian hukum
orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan
menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian
hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta
tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun
yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan.
Dan kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara
ketat (lex dura sed tamen scripta).
Berbicara
tentang hukum pada umumnya, kita (masyarakat) hanya melihat kepada peraturan
hukum dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para
praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna,
undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia
secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya
undang-undang tersebut tidak jelas. Tidak hanya itu, dalam Al-Qur’an sendiri
yang merupakan rujukan kita (umat Islam) dalam menentukan hukum akan suatu
peristiwa yang terjadi, ada kalanya masih memerlukan suatu penafsiran
(interpretasi), pada masalah-masalah yang dianggap kurang jelas dan dimungkinkan
(terbuka) atasnya untuk dilakukan suatu penafsiran. Dalam hal terjadinya
pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau
menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau
menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau
tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak
sempurnanya undang-undang. Olehnya, karena undang-undang yang mengatur akan
peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini
penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji hukumnya, hakim
harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Problematik yang
berhubungan dengan penemuan hukum ini memang pada umumnya dipusatkan sekitar “hakim”, oleh
karena dalam kesehariannya ia senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkrit atau
konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif. Dan hasil penemuan
hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai
hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Di samping itu pula hasil penemuan
hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum. Penemuan hukum itu sendiri
lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan
individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa
kongkrit. Atau lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah
proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.
Dari
abstraksi pemikiran yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa hal atau faktor
serta alasan yang melatarbelakangi perlunya suatu analisis terhadap prosedur
penemuan hukum oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara terutama pada tahap
pengambilan keputusan, antara lain sebagai berikut :
1.
Bahwa kegiatan kehidupan manusia ini sangatlah luas, tidak terhitung jumlah dan
jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan
perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada
peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan
manusia, sehingga tak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap
selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak
lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan.
2.
Perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama
dan ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini
dalam abad ke 19 dikenal dengan hermeneutic yuridis (hermeneutika), namun yang
menjadi pertanyaan, bagaimana dengan penerapannya.
3.
Munculnya suatu gejala umum, yakni kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan
sebagian “besar” masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia.
Gejala ini hampir dapat didengar dan dilihat, melalui berbagai media yang ada.
Menurut hemat peneliti gejala ini lahir tidak lain adalah karena terjadinya
suatu ketimpangan dari apa yang seharusnya dilakukan/diharapkan (khususnya
dalam proses penegakan hukum) dengan apa yang terjadi dalam kenyataannya.
4.
Kaitannya dengan gejala umum di atas, dari mekanisme penyelesaian perkara (kasus)
yang ada, tidak jarang hakim selaku penegak hukum menjatuhkan putusan/vonis
terhadap kasus yang tanpa disadari telah melukai rasa keadilan masyarakat
disebabkan karena terlalu kaku dalam melihat suatu peraturan (bersifat
normative/positivistik) tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis yang ada.
Salah satu contoh yang masih hangat dimemori kita pada awal bulan yang lalu
yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi (koruptor) kelas kakap yang
nyata-nyata telah merugikan Negara.
Alasan
yang lain yang tentunya sangat terkait dengan kajian ini yakni melihat
bagaimana seorang hakim melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung
jawabnya yang sudah menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana
hal itu dapat mewarnai dalam setiap putusan yang dilahirkan.
B. Kegunaan Penemuan
Hukum
Kegunaan
dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat
digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak
langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat. Sementara itu,
kenyataan menunjukkan bahwa :
a.
Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan
istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga
dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan;
b.
Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan
perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan
lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam
masyarakat;
1.
Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan
perudang-undangan yang mengatur masalah tersebut.
Dalam
menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi
hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat
dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan
masalah hukum yang sedang dihadapi.
Persoalan
pokok yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah :
1.
Unsur sistem hukum, meliputi :
1.
Hukum undang-undang, yakni hukum yang dicantumkan dalam
keputusan resmi secara tertulis, yang sifatnya mengikat umum.
2.
Hukum kebiasaan yaitu : keteraturan-keteraturan dan
keputusan-keputusan yang tujuannya kedamaian.
3.
Hukum Yurisprudensi, yakni : hukum yang dibentuk dalam keputusan
hakim pengadilan.
4.
Hukum Traktat : hukum yang terbentuk dalam perjanjian
internasional.
5.
Hukum Ilmiah (ajaran) : hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan
hukum.
2.
Pembidangan sistem hukum
1.
Ius Constitutum (hukum yang kini berlaku).
2.
Ius Constituendum (hukum yang kelak berlaku)
Dasar
pembedaannya adalah ruang dan waktu
3.
Pengertian dasar dalam suatu sistem hukum
1.
Masyarakat hukum : suatu wadah bagi pergaulan hidup yang teratur
yang tujuannya kedamaian.
2.
Subyek hukum
3.
Hukum dan kewajiban
4.
Peristiwa hukum
5.
Hubungan hukum ; sederajat dan timpang
class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 14.6pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 24.0pt; margin-right: 24.0pt; margin-top: 0in; mso-list: l4 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
6.
Obyek hukum
Pengertian
butir diatas tidak terlepas dari makna sebenarnya hukum yang merupakan
bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari
manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang
menyenangkan maupun yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum
tidak diperlukan.
C. Penemuan Hukum Dalam
Sistem Hukum Indonesia
Indonesia
dalam perspektif keluarga-keluarga hukum di dunia termasuk kedalam kelurga
hukum civil law yang sering diperlawankan dengan keluarga hukum common law.
Kedua sistem hukum ini merupakan dua sistem hukum utama yang banyak diterapkan
di dunia, namun selain dua sistem hukum tersebut terdapat beberapa hukum
lainnya yang diterapkan di dunia yakni sistem hukum Islam (Islamic Law) dan
sistem hukum komunis (Communist Law). Indonesia menganut sistem hukum sipil,
akibat penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama kurun waktu 350 tahun
melalui kebijakan bewuste rechtspolitiek, yang kemudian pasca kemerdekaan tata
hukum tersebut diresepsi menjadi tata hukum nasional Indonesia melalui Aturan
Peralihan UUD 1945 Pasal II (Pra Amandemen) yang menyatakan : “segala badan
negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini”. Oleh karenanya, keberadaan lembaga dan
aturan-aturan yang ada merupakan lembaga dan aturan-aturan yang dibawa oleh
Belanda yang merupakan negara yang menganut sistem civil law.
Salah
satu karakteristik utama dari civil law ialah penggunaan aturan-aturan yang
tertulis dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk
menerjemahkan aturan-aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret,
maka difungsikanlah seorang hakim. Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di
dalam menerapkan aturan hukum tersebut, dia akan menerjemahkan suatu aturan
hukum apabila telah terjadi sengketa diantara individu satu dengan yang lainnya
di dalam masyarakat yang kemudian hasil terjemahan aturan hukum tersebut
ditetapkan di dalam suatu putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak yang
bersengketa.
Pengunaan
aturan hukum tertulis di dalam civil law, terkadang memiliki kendala-kendala
tertentu. Salah satu kendala utama ialah, relevansi suatu aturan yang dibuat
dengan perkembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan akitivitas masyarakat selalu
dinamis, oleh karenanya segala aturan hukum yang dibentuk pada suatu masa
tertentu belum tentu relevan dengan masa sekarang. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa, aturan hukum selalu berada satu langkah dibelakang realitas masyarakat.
Relevansi aturan hukum dengan persoalan masyarakat merupakan hal yang esensial
demi terciptanya keadilan dan ketertiban di masyarakat. Aturan hukum yang tidak
relevan, akan menciptakan kekacuan dan ketidakadilan, dan menjadi persoalan
karena tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat.
Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa hukum harus bisa memecahkan
suatu persoalan dari suatu realitas baru masyarakat. Sehingga jika tidak, akan
menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan bankruptcy of justice yakni
suatu konsep yang mengacu kepada kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan
suatu perkara akibat ketiadaan aturan hukum yang mengaturnya.
Untuk
menyelesaikan persoalan ini, maka diberikanlah kewenangan kepada hakim untuk
mampu mengembangkan hukum atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), namun
demikian dalam konteks sistem hukum civil law hal ini menjadi suatu persoalan.
Hakim pada prinsipnya merupakan corong dari undang-undang, dimana peranan dari
kekuasaan kehakimanan hanya sebagai penerap undang-undang (rule adjudication
function) yang bukan merupakan kekuasaan pembuat undang-undang (rule making
function). Sehingga diperlukan batasan-batasan mengenai penemuan hukum
(rechtsvinding) oleh hakim dengan menggunakan konstruksi hukum, Indonesia di dalam
keluarga-keluarga sistem hukum dunia, termasuk salah satu dari keluarga hukum
Eropa Kontinental (civil law). Sistem Eropa Kontinental ini, mengutamakan hukum
tertulis dan terkodifikasi sebagai sendi utama dari sistem hukum eropa
kontinental ini, oleh karenanya sering pula disebut sebagai . Pemikiran
kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad ke-18 – 19. Untuk
melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan sewenang-wenang dan demi kepastian
hukum, kaidah-kaidah hukum harus tertulis dalam benruk undang-undang. Lebih
lanjut pemikiran ini menyatakan bahwa, suatu undang-undang harus bersifat umum
(algemeen). Umum baik mengenai waktu, tempat, orang atau obyeknya. Kedua,
undang-undang harus lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan
pandangan ini Pemerintah dan Hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang bertugas
untuk menerapkan undang-undang (secara mekanis). Berkebalikan dengan sistem
eropa continental, sistem anglo saxon yang biasa disebut dengan sistem common
law merupakan sistem hukum yang menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama di
dalam sistem hukumnya. Yurisprudensi ini merupakan keputusan-keputusan hakim
mengenai suatu perkara konkret yang kemudian putusan tersebut menciptakan
kaidah dan asas-asas hukum yang kemudian mengikat bagi hakim-hakim berikutnya
di dalam memutus suatu perkara yang memiliki karakteristik yang sama dengan
perkara sebelumnya. Aliran hukum ini menyebar dari daratan Inggris kemudian ke
daerah-derah persemakmuran Inggris (eks jajahan Inggris), Amerika Serikat, Canada,
Australia dan lain-lain. Namun demikian, pada perkembangannya kedua sistem
hukum tersebut mengalami konvergensi (saling mendekat), yang ditandai dengan
peranan yang cukup penting suatu peraturan perundang-undangan bagi sistem
common law dan sebaliknya peranan yang signifikan pula dari yurisprudensi dalam
sistem Eropa Kontinental.
Makin
besarnya peranan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal,
diantaranya ialah :
a.
Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali, mudah
diketemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis,
bentuk, jenis dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya;
b.
Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena
kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali;
1.
Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jel
sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal
maupun materi muatannya; dan
d.
Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan.
Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk
membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat.
Tetapi
tidak berarti pemanfaatan peraturan perundang-undangan tidak mengandung
masalah-masalah, adapun masalah-masalah tersebut ialah :
a.
Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan
peraturan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukan
peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata cara tertentu.
Sementara itu masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya
maka terjadi semacam jurang antara peraturan perundang-undangan dan masyarakat.
Dalam keadaan demikian, masyarakat akan menumbuhkan hukum sendiri sesuai dengan
kebutuhan. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukum-hukum sendiri
akan “terpaksa” menerima peraturan-peraturan perundangan-undangan yang sudah
ketinggalan. Penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai itu dapat
dirasakan sebagai ketidakadilan dan dapat menjadi hambatan perkembangan masyarakat;
b.
Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala
peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan menimbulkan apa yang lazim disebut
kekosongan hukum atau rechstvacuum. Barangkali yang tepat adalah kekosongan
peraturan perundang-undangan bukan kekosongan huku. Hal ini dikarenakan ajaran
Cicero-ubi societas ubi ius- maka tidak akan pernah ada kekosongan hukum.
Setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum
apabila “hukum resmi” tidak memadai atau tidak ada.
Kelemahan-kelemahan
dari peraturan perundang-undangan inilah yang kemudian menimbulkan konsep
penemuan hukum oleh hakim. Namun demikian, terdapat beberapa pandangan yang
menyatakan bahwa penemuan hukum tidak diperkenankan hakim melakukan penemuan
hukum. Gagasan penolakan ini lebih disebabkan oleh ketidakmungkinan dari apa
yang disebut dengan kekosongan hukum. Hal ini merupakan pandangan dari
positivisme Kelsen, yang menyatakan bahwa “tidak mungkin terdapat suatu
kekosongan hukum dikarenakan jika tata hukum tidak mewajibkan para individu
kepada suatu perbuatan tertentu, maka individu-individu tersebut adalah bebas
secara hukum. sepanjang negara tidak menetapkan apa-apa maka itu merupakan
kebebasan pribadinya”. Berkebalikan dengan pandangan ini, justru kekosongan
hukum sangat mungkin terjadi dan akan menimbulkan kebangkrutan keadilan
(bankruptcy of justice) dimana hukum tidak dapat memfungsikan dirinya di
tengah-tengah masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat.
Kebangkrutan keadilan, merupakan konsekuensi dari kondisi dimana hukum tidak
dapat menyelesaikan suatu sengketa yang timbul di dalam masyarakat.
Melihat
dua pandangan yang saling bertentangan tersebut, maka kekosongan hukum ini
adalah mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan argumentasi Kelsen yang membangun
konstruksi berpikirnya hanya pada ranah logikal, namun tidak memperhatikan
fakta-fakta empiris dimana hukum tidak semata-mata merupakan apa yang kemudian
dinyatakan oleh negara sebagai hukum. Lebih dari itu, hukum juga terdapat di dalam
masyarakat akibat proses interaksi yang sangat dinamis dari kehidupan
sehari-hari. Kemudian, argumentasi dari yang menyatakan terjadinya kekosongan
hukum dapat menimbulkan kebangkrutan keadilan titik tekannya adalah kehidupan
yang selalu berkembang di dalam masyarakat, memungkinkan hukum selalu
tertinggal satu langkah di bandingkan fakta-fakta sosial kemasyarakatan, oleh
karenanya fakta sosial yang demikian dinamis kadang kala merupakan friksi
antara kepentingan individu-individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok
dengan kelompok dan menjadi kontraproduktif jika tidak dapat diselesaikan oleh
hukum.
Pada
konteks tersebut di atas kekosongan hukum yang berujung pada kebangkrutan hukum
adalah hal yang dipastikan dapat terjadi, jika hanya menyatakan bahwa sumber
hukum satu-satunya adalah undang-undang. Oleh karenannya, dituntut peranan
hakim yang lebih besar dari pada sekedar corong undang-undang. Dalam rangka
mengisi kekosongan hukum ini, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan
penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan lain-lain. Hal
ini kemudian yang sering diistilahkan jugde made law atau penemuan hukum
(rechtsvinding). Konsep ini di Indonesia, diakomodir di dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman Nomor : 4 Tahun 2004 dimana dalam Pasal 16 ayat (1),
dinyatakan sebagai berikut :
“pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Pada
Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, sangat jelas
terlihat bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar
ketiadaan dasar hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia kebangkrutan
hukum tidaklah di perbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1)
undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman. Namun
demikian, persoalan yang muncul adalah mengenai apakah hakim dalam konteks
penemuan hukum memiliki kesamaan pengertian dengan konsep hakim membuat hukum
(judge made law) seperti di dalam hukum common law.
Pengertian
judge made law dalam pengertian sistem hukum common law, ialah bahwa hakim
memiliki peranan di dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang
didasarkan pada kasus-kasus konkrit, sehingga hukum di dalam pengertian ini
benar-benar membentuk suatu norma hukum baru, guna mencapai kepastian hukum
maka dikembangkanlah sistem precedent, dimana hakim terikat dengan keputusan
hakim terdahulu menyangkut suatu perkara yang identik. Apabila dalam suatu
perkara hakim di dalam menerapkan precedent justru akan melahirkan
ketidakadlian maka hakim harus menemukan faktor atau unsur perbedaannya. Dengan
demikian ia bebas membuat putusan baru yang menyimpang dari putusan lama.
Dalam
konteks tersebut sistem Eropa Kontinental khususnya Belanda, penemun hukum
didasarkan pada ajaran menemukan hukum dengan bebas (vrije rechtsvinding), yang
pada ajaran tersebut terbagi menjadi tiga ajaran menyangkut dimanakah hukum
bebas tersebut dapat ditemukan. Ajaran pertama yang dimotori oleh Hamaker
menyatakan bahwa hukum bebas dapat ditemukan dengan menggalinya dari adat
istiadat di dalam masyarakat, oleh karenanya ajaran ini disebut pula ajaran
aliran sosiologi. Ajaran kedua memandang hukum dapat ditemukan di dalam
ketentuan-ketentuan kodrati yang sudah ada untuk manusia, ketentuan kodrati ini
tertuang di dalam kitab-kitab suci dan perenungan-perenungan kefilsafatan tentang
keadilan dan moralitas, oleh karenanya, hukum ini disebut dengan hukum kodrat.
Dan ajaran ketiga ialah ajaran yang menghendaki hakim dalam menemukan hukum,
tidak hanya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun
lebih dari itu, hakim di dalam menemukan hukum harus juga dalam konteks
mengoreksi dan jika perlu membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut dan
membentuk norma hukum baru, aliran ini disebut juga rechter-koningschap.
Pada
konteks hukum positif tampaknya kewenangan hakim menemukan hukum sebagaimana
dimaksud di dalam Pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman, juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 28
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, yang berbunyi sebagai
berikut :
(1).
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan dalam masyarakat.
(2).
Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa.
Dari
kedua ayat dalam pasal tersebut, dengan jelas dinyatakan hakim menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat dan
memperhatikan hal-hal yang baik dan jahat dari terdakwa sebelum memutus suatu
perkara. Hal ini menunjukan bahwa, Indonesia memang menganut ajaran penemuan
hukum bebas (vrije rechstvinding), namun menyangkut hukum bebas tersebut hakim
masih terikat oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga hukum bebas di
posisikan sebagai tambahan dari aturan perundang-undangan dia tidak dapat
menyimpang dari aturan perundang-undangan tersebut, akan tetapi hakim dapat
mengkontekskan aturan hukum yang ada sesuai dengan rasa keadilan dan
nilai-nilai masyarakat, yang merupakan inti dari ajaran penemuan hukum bebas
yang beraliran sosiologis. Hukum bebas dalam pengertian rasa keadilan dan
nilai-nilai masyarakat sangat identik dengan hukum agama dan adat yang ada di
dalam masyarakat. Namun tidak sebatas itu, tafsir rasa keadilan dan
nilai-nilali masyarakat juga dapat ditafafsirkan di dalam dinamika sosial
kemasyakatan. Dimana aspek tuntutan dan tekanan masyarakat, mengenai mana yang
adil dan tidak adil menjadi aspek yang tidak dapat diabaikan dalam memutus
suatu perkara.
Salah
satu contoh penemuan hukum yang menjadi preseden di dalam hukum Indonesia,
misalnya dalam kasus sengkon dan karta yang menumbuhkan kembali lembaga
Herzeining (peninjauan kembali) dan penafsiran secara meluas (ekstensif) di
dalam definisi mengenai barang dalam Pasal 378 oleh Bintan Siregar kemudian
pada zaman kolonial dengan beberapa benchmark cases, seperti mendefinisikan
ulang unsur-unsur perbuatan melawan hukum melalui kasus pipa ledeng atau
mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian barang dalam delik pencurian,
yang mengkualifikasikan listrik sebagai barang pada H.R. 23 Mei 1921, N.J.1921,
564. Dalam konteks hukum nasional ialah putusan yang mengizinkan perubahan
status jenis kelamin pasca operasi penggantian kelamin sebagaimana diputus oleh
Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat Nomor 546/73.P Tanggal 14 November 1973
dengan pemohon ialah Iwan Robianto Iskandar.
Penemuan
hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran,
yang menggunakan asas-asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak melulu
menggunakan asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi
faktor di dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke
dalam suatu perkara. Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis,
dapat menghaluskan hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras
bagi kelompok-kelompok tertentu. Misalkan seorang pencuri yang didesak karena
kebutuhan ekonominya tentu akan berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri
dikarenakan ketamakan. Sehingga adagium lex dura, sed tamen scripta (hukum
adalah keras, tetapi memang demikian bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam
konteks ini. Keseluruhan operasi logika dan penafsiran menggunakan aspek-aspek
lainnya, ditujukan untuk mengisi ruang kosong yang terdapat di dalam sistem
formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha
mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materil dari
hukum. Dengan mencari persamaan dalam sistem materil yang menjadi dasar lembaga
hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk pengertian hukum (rechtsbegrip).
Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut
konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, penghalusan hukum dan
argumentum a contrario.
Di
dalam melakukan penafsiran suatu aturan hukum, hakim hendaknya mengikuti
beberapa prinsip di bawah ini :
1.
Prinsip objektivitas : penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara
literal dari aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut
harus dibuat sejelas mungkin untuk perkembangan selanjutnya.
2.
Prinsip kesatuan : setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara
terpisah. Bagian harus berasal dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal
dari bagiannya.
3.
Prinsip penafsiran genetis : selama melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan
teks asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata
bahasa, budaya dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama
dari pembuat hukum tersebut;
4.
Prinsip perbandingan : prinsip ini ialah prinsip untuk membandingkan suatu teks
hukum dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu.
Keempat prinsip tersebut merupakan prinsip yang dijadikan
semacam panduan bagi penafsiran dalam rangka menemukan hukum, sehingga
kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat dapat terjalin secara baik.