Poligami Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
Poligami merupakan perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita atau perkawinan yang banyak atau pemahaman tentang seorang laki-laki yang membagi kasih sayangnya atau cintanya dengan beberapa wanita dengan menyunting atau menikahi wanita lebih dari satu dan hal ini dapat mengundang persepsi setiap orang baik negatif atau positif tentang baik buruknya moral seseorang yang melakukan poligami.
Poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli dan polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang artinya kawin atau perkawinan. Maka, ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak.
Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Poligami dengan batasan empat nampaknya lebih didukung oleh bukti sejarah. Karena Nabi melarang menikahi wanita lebih dari empat orang.
Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Poligami dengan batasan empat nampaknya lebih didukung oleh bukti sejarah. Karena Nabi melarang menikahi wanita lebih dari empat orang.
Poligami adalah isyarat islam yang merupakan sunah Rasulullah SAW tentunya dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para isteri.Sebagai mana pada ayat yang artiya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senang, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil,maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yangkamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat daripada tidak berbuat aniaya.” (QS.An-Nisa ayat ke-3)
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalau cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (QS.An-Nisa ayat 129)
Selain itu, tidak adanya ayat Al-Quran dan sunah Rasulullah yang menggambarkan diperbolehkan atau dilarangnya poligami. Sesungguhnya poligami yang diatur dalam islam tidak memperbolehkan bagi laki-laki untuk berhubungan dengan wanita yang ia sukai diluar pernikahan.
Poligami merupakan sistem yang manusiawi, karena dapat meringankan beban masyarakat yaitu dengan melindungi wanita yang tidak bersuami dan menempatkannya ke shaf para isteri yang terpelihara dan terjaga.
2.2.1 Faktor –faktor Yang Mempengeruhi Poligami
a. Faktor Biologis
3. Istri yang Sakit
4. Hasrat Seksual yang Tinggi
5. Rutinitas Alami Setiap Wanita
6. Masa Subur Kaum Pria Lebih Lama
b. Faktor Internal Rumah Tangga
7. Kemandulan
8. Istri yang Lemah
9. Kepribadian yang Buruk
c. Faktor Sosial
10. Banyaknya Jumlah Wanita
11. Kesiapan Menikah dan Harapan Hidup pada Wanita
12. Berkurangnya Jumlah Kaum Pria
13. Lingkungan dan Tradisi
14. Kemapanan Ekonomi
2.2.2 Dampak Negatif Poligami
Terhadap Kehidupan Rumah Tangga
Dampak poligami terhadap kehidupan rumah tangga antara lain
1. Ketidakharmonisan hubungan anggota keluarga.
2. Sering timbul permasalahan atau percek-cokan.
3. Tidak adanya rasa saling pecaya.
4. Tidak adanya kepedulian yang besar dari suami terhadap anak dan isteri.
5. Kemungkinan dapat menyebabkan perceraian.
2.2.3 Syarat Diperbolehkannya Poligami
Syarat yang dituntut Islam dari seotrang muslim yang akan melakukan poligami adalah keyakinan dirinya bahwa ia bisa berlaku adil di antara dua istri atau istri-istrinya dalam hal makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian , dan nafkah. Barang siapa kurang yakin akan kemampuannya memenuhi hak-hak tersebut dengan seadil-adilny, haramlah baginya menikah dengan lebih dari satu perempuan. Allah SWT berfirman :
“ Lalu jika kalian khawatir tidak bisa adil, cukuplah satu saja.” (An- Nisa : 3)
Beliau SWT juga bersabda,
“ Barang siapa mempunyai dua istri, sementara ia lebih condong kepada salah satu diantara keduanya, maka pada hari kiamat nanti akan datang dengan menyeret salah satu belahan tubuhnya yang terjatuh atau miring.”
Miring yang diperingatkan dalam hadist ini adalah ketidakadilan dalam hak-haknya, bukan sekedar kecenderungan hati, karena yang disebut terakhir ini termasuk hal yang susah dipenuhi, bahkan dimaklumi dan dimaafkan Allah Swt.
Jadi, sebagaimana talaq, begitu jugalah halnya dengan poligami yang diperbolehkan kerana hendak mencari jalan keluar dari kesulitan. Islam memperbolehkan umatnya berpoligami berdasarkan nas-nas syariat serta realiti keadaan masyarakat. Ini bererti ia tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenangnya demi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Islam, demi untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum Muslimin.
Oleh yang demikian, apabila seorang lelaki akan berpoligami, hendaklah dia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;
1. Membatasi jumlah isteri yang akan dikawininya.
2. Diharamkan mengumpulkan wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi isterinya.
3. Disyaratkan pula berlaku adil.
4. Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan isteri mahupun anak-anak.
5. Berkuasa menanggung nafkah.
Poligami sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang istri. (Dikutip dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974). Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.¿Akan tetapi asas monogami dalam UU Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Ini dapat diambil sebuah argumen yaitu jika perkawinan poligami ini dipermudah maka setiap laki-laki yang sudah beristri maupun yang belum tentu akan beramai-ramai untuk melakukan poligami dan ini tentunya akan sangat merugikan pihak perempuan juga anak-anak yang dilahirkannya nanti dikemudian hari.
Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan ijin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama ( Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam) dan yang beragama selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu.
Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 5 UU Perkawinan No. 1/1974 dan PP No. 9/1975 juga harus mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam PP No. 10/1983 tentang ijin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Perkawinan poligami didalam masyarakat lebih sering kita lihat daripada perkawinan poliandri yaitu seorang istri atau seorang wanita mempunyai lebih dari seorang suami. Bahkan masyarakat lebih dapat menerima terjadinya perkawinan poligami daripada perkawinan poliandri, sehingga dalam kenyataannya sangat jarang terjadi perempuan menikah dengan lebih dari seorang laki-laki, kalaupun ada itu hanya bersifat kasuistis saja. Dan ini bisa juga karena seorang istri atau seorang perempuan itu lebih mengandalkan perasaannya dan dengan pertimbangan akan adanya anak juga. Didalam Al Qur¿an poliandri tidak diperbolehkan, hal ini diatur dalam surat An Nisa ayat 24.
Hikmah perkawinan poliandri dilarang adalah untuk menjaga kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur aduk, dan untuk menjamin kepastian hukum seorang anak. Karena sejak dilahirkan
bahkan dalam keadaan tertentu walaupun masih dalam kandungan telah berkedudukan sebagai pembawa hak, sehingga perlu mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Menurut hukum waris Islam seorang anak yang masih ada dalam kandungan yang kemudian lahir dalam keadaan hidup berhak mendapat bagian penuh apabila ayahnya meninggal dunia biarpun dia masih janin dalam kandungan. Untuk larangan pelaksanaan perkawinan poliandri ini didalam Undang-Undang Perkawinan juga telah ditentukan didalam pasal 3 ayat 1 yang menentukan bahwa pada dasarnya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, larangan ini bersifat mutlak karena tidak ada alasan-alasan lain yang ditentukan untuk kawin dengan lebih dari seorang suami.
Untuk kasus poligami untuk beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan 1/1974 :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu :
1. Adanya persetujuan dari istri
2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.
Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadillan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Dapat diambil contoh apabila si istri ada di Luar Negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) selama 2 tahun atau lebih misalnya atau bisa juga karena selama minimal 2 tahun si istri memang tidak ada kabar beritanya. Persetujuan secara lisan ini nantinya si istri akan dipanggil oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. ( Drs. H.A. Mukti Arto, S.H., Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, , Pustaka Pelajar, 2003 )
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 disebutkan bahwa untuk memperoleh ijin melakukan poligami hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimanan disebutkan dalam pasal 10 ayat 2 dan 3 PP Nomor 10 tahun 1983. Akan tetapi dari hasil penelitian pernah ada permohonan ijin poligami pegawai negeri sipil yang diajukan kepada pejabat atasannya tidak memenuhi alasan dan istri tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri akibat tindakan suami itu sendiri yang hanya menuntut haknya saja tanpa mau melaksanakan kewajibannya dengan semestinya. Dalam hal ini kesalahan tidak dapat dilimpahkan kepada istri. Dan kasus-kasus semacam ini juga sering sekali terjadi.
Seorang pegawai negeri sipil yang akan melakukan poligami harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.
Syarat-syarat komulatif itu antara lain :
1. Adanya persetujuan tertulis dari istri.
2. Adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada istri dan anak mereka.
Dalam pasal 1 ayat 1 PP Nomor 10 tahun 1983 bahwa pegawai negeri sipil yang akan beristri lebih dari seorang wajib memperoleh ijin dari pejabat dimana dalam surat permintaan ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 tadi harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan untuk beristri lebih dari seorang. Permintaan ijin itu harus diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki. Dalam hal ini setiap alasan yang menerima permintaan ijin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya untuk melakukan poligami wajib memberikan pertimbangan dan wajib meneruskan kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung mulai tanggal menerima permintaan surat itu.
Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istrinya dan anak-anak dengan memperlihatkan :
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.
2. Surat keterangan pajak penghasilan.
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Dalam PP Nomor 10 tahun 1983 pejabat dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan memberikan ijin apabila ternyata :
1. Tidak bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
2. Memenuhi syarat alternatif dan semua syarat komulatif .
3. Tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
4. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
5. Tidak ada kemungkinan mengganggu tugas kedinasan yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serendah-rendahnya pejabat eselon IV atau setingkat dengan itu.
Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam pemeriksaan pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari satu maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang.
Pengadilan didalam memberikan pertimbangan terhadap pegawai negeri sipil yang mengajukan permohonan untuk beristri lebih dari seorang dengan melihat apakah hukum membolehkannya atau tidak yaitu dengan memperlihatkan ketentuan undang-undang yang berlaku serta memperhatikan kelengkapan syarat-syarat maupun alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 dan juga Kompilasi Hukum Islam.
Berbicara mengenai perkawinan poligami, yang tentu saja dilakukan oleh seorang suami ini, ada beberapa contoh kasus yang dapat diambil dimana jika diamati banyak sekali terjadi di sekitar lingkungan kita.
Contoh kasus yang terjadi : Apabila ada seorang suami yang mempunyai keinginan untuk melakukan poligami tetapi suami ini tidak mendapatkan persetujuan dari istrinya untuk melaksanakan perkawinan poligami, sedangkan si perempuan yaitu calon istri dari suami ini sudah terlanjur berbadan dua atau dengan kata lain si perempuan ini sudah dalam keadaan hamil dan hanya tinggal menunggu tanggal kelahirannya saja. Kemudian dari kasus ini akan timbul pertanyaan, Bagaimana tindakan selanjutnya yang harus diambil jika si istri yang syah tetap tidak mau memberikan persetujuan perkawinan poligami yang akan dilakukan oleh suaminya.
Seorang suami jika dia akan melakukan perkawinan poligami pada dasarnya tetap harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dan telah ditentukan didalam Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1 tahun 1974, dimana salah satu syarat yang utama yang harus dipenuhi adalah adanya persetujuan dari istri. Persetujuan inipun seperti telah dikemukakan diawal yaitu ada persetujuan tertulis dan persetujuan secara lisan yang akan didengar oleh hakim pada saat sidang pengadilan berlangsung. Jadi jika dilihat dari kacamat hokum positif, sorang suami ini tetap tidak bisa melaksanakan perkawinan poligami seperti yang diinginkannya tanpa adanya persetujuan dari istri.
Sedangkan apabila dilihat dari segi hukum Islam, seorang suami ini dapat melakukan perkawinan dibawah tangan atau kawin siri, meskipun banyak ulama yang saling berbeda pendapat . Maksudnya disini adalah ada sebagian ulama yang menentang adanya perkawinan ini jika si perempuan dalam keadaan berbadan dua, tetapi tidak sedikit juga ada sebagian ulama yang tidak mengharamkan artinya ada sebagian ulama yang membolehkan seorang suami mengawini perempuan yang sedang hamil dengan alasan untuk menjaga kemaslahatan si anak yang dikandung ini dikemudian hari.
Tetapi dengan melakukan perkawinan siri tersebut juga ada hal-hal yang harus diingat dan diperhatikan oleh seorang perempuan. Dikarenakan apa ? Jika seorang perempuan tersebut telah melakukan kawin siri atau perkawinan di bawah tangan maka si perempuan juga harus siap dengan segala akibat dan konsekwensi yang ditimbulkannya. Akibat dan konsekwensi tersebut adalah tidak mendapatkannya si perempuan beserta anak yang dikandung dan dilahirkannya itu harta warisan dari suaminya, dan si anak ini hanya akan mewaris dari ibunya saja.Karena ini adalah perkawinan dibawah tangan atau kawin siri dan tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama setempat.
Berbeda memang jika perkawinan poligami ini dicatatkan, tetapi sepanjang istri yang pertama tidak atau istri yang syah tidak memberikan persetujuannya maka perkawinan itu sampai kapanpun tetap tidak bisa dicatatkan dan atau dilegalkan oleh hokum positif. Dan ini dikemudian hari imbasnya akan keanak juga setelah anak tersebut dilahirkan. Akibat yang ditimbulkan pada tatanan anak tersebut akan membuat akta kelahiran, baik itu untuk keperluan mendaftarkan kesekolah maupun untuk keperluan yang lain. Sedangkan dalam pembuatan akta kelahiran itu sendiri diperlukan akta nikah dari kedua orang tuanya, supaya nanti ada kejelasan mengenai identitas orang tua anak itu juga. Apalagi jika didalam akta kelahiran nanti identitas orang tua tersebut berbeda, maksudnya jika identitas orang tua yang tercantum didalam akta kelahiran tersebut tidak sesuai dengan identitas orang tua kandung anak tersebut, ini tentu akan menimbulkan permasalahan yang baru lagi. Bisa permasalahan itu muncul ketika si anak akan melanjutakan sekolah yang lebih tinggi, yang sangat memerlukan adanya Surat Tanda Tamat Belajar atau sering disebut juga dengan ijazah, yang dalam ijazah tercantum identitas orang tua kandungnya. Jadi begitu pentingnya akta kelahiran ini bagi anak yang akan dilahirkannya maka sebuah perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan harus dicatatkan dan harus melalui prosedur yang diberlakukan dan telah diatu di dalam hukum positif kita.
Sebenarnya banyak sekali kasus-kasus yang terjadi di dalam masyarakat sekitar kita yang berkaitan serat berhubungan dengan perkawinan poligami ini. Kemarin ada satu pernyataan atau statemen dari seorang laki-laki yang harus kita jawab dan kita berikan pendapatnya, pernyataanya begini sekarang ini kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki atau kaum adam, kemudian jika kaum laki-laki ini ingin melakukan perkawinan poligami dengan alasan ini dilakukan juga untuk melindungi istri, dilakukan untuk menyambung hidup atau untuk meningkatkan dan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, ini bagaimana ? Meskipun pada dasarnya setiap perempuan atau setiap istri tidak mau pdimadu, atau bisa dikatakan ini untuk kemaslahatan.
Untuk permasalahan yang seperti ini jika ditujukan ke kaum perempuan tentu si perempuan banyak yang tidak menyetujuinya dan ini sangat-sangat menguntungkan kaum laki-laki tentunya. Tetapi kita tidak boleh asal dalam menjawab suatu pertanyaan. Jadi begini misalkan seorang suami akan melakukan perkawinan poligami tetap saja suami tersebut harus mempunyai persetujuan dari istri, dengan alasan apapun, tetapi jika untuk alas an-alasan diatas si istri bisa menerima dan memeberikan sebuah persetujuan maka si suami ini kan dapat melangsungkan perkawinan poligaminya, dan jika si istri untuk alas an-alasan-alasan diatas tetap tidak mau menerima dan tidak bisa menyetujuinya maka si suami juga harus sadar diri untuk tidak melakukan hal tersebut, dalam hal ini jika si suami tetap melakukannya maka akibat yang akan ditanggung dengan segala konsekwensinya akan sama sperti yang telah dikemukakan diatas tadi. Perkawinan tersebut tidak syah dan tidak diakui oleh hukum positif yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
Dari kasus-kasus yang banyak terjadi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila seorang suami akan melakukan perkawinan poligami, suami tersebut harus harus memikirkan lebih jauh lagi apakah syarat-syarat yang sudah ditentukan dan telah diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 sudah terpenuhi atau sudah terlengkapi belum. Seandainya belum lengkap maka seorang suami tersebut harus mempertimbangkannya sekali lagi.
Masalah pokoknya atau hal yang paling utama nanti adalah Pengadilan bisa tidak dalam memberikan ijin berpoligami tersebut karena disini yang paling berkompeten dalam memberika ijin untuk melangsungkan perkawinan poligami adalah Pengadilan. Jadi pertimbangkan sekali lagi segala akibat yang bisa ditimbulkan apabila salah dalam melangkah dan salah dalam mengambil keputusan setiap tindakan yang dilakukan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari data-data yang saya peroleh, baik dari buku, internet serta dari teman-teman yang saya mintai pendapat, Saya dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya poligami diperbolehkan oleh agama apabila tujuannya baik dan sang suami dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya dan jumlah istrinya tidak melebihi 4 orang. Namun masyarakat masih beranggapan negatif kepada orang-orang yang berpoligami. Hal ini terjadi karena masalah poligami masih tabu di masyarakat.
3.2 Saran
Sebaiknya masyarakat tidak selalu beranggapan negatif terhadap seseorang yang melakukan poligami karena ia pasti memiliki alasan-alasan serta faktor-faktor yang jelas untuk melakukan poligami. Selain itu, sebaiknya para suami jangan melakukan poligami apabila tidak dapat berlaku adil bagi istri-istrinya karena hukuman bagi suami yang tidak bisa berlaku adil sangatlah pedih.
Nabi bersabda, “Barang siapa beristri dua dan tidak berlaku adil pada keduanya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tubuhnya.” (HR Tirmidzi dan Al Hakim)
Kami juga memberikan saran, khususnya kepada para suami yang ada di Negara Indonesia sebaiknya :
1. Janganlah melakukan poligami, jika isteri masih dapat memenuhi kebutuhan baik secara lahir dan bathin.
2. Disamping itu pula jika ingin melakukan poligami, maka bersikaplah adil terhadap isteri dan anak – anak, dan juga harus mendapatkan persetujuan dari isteri baik secara lisan maupun tulisan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Qardhawi, Yusuf.2007.Halal Haram Dalam Islam.Surakarta:Era Intermedia.
Abdillah, Abu Azzam.2007.Agar Suami Tak Berpoligami.Bandung: Ikomatuddin Press.
Aydi, Hasan.2007.Poligami Syariah dan Perjuangan Kaum Perempuan.Bandung: Alfa Beta.
Faqih, Khoyin Abu.2007.Poligami Solusi atau Masalah.Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.
Gusmaian,Islah.2007.Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami.Jogjakarta:Putaka Marwa.
Hathaut, Hasan.2007.Panduan Seks Islami.Jakarta:Zahra.
Husaein, Abdulrahman.2006.Hitam Putih Poligami.Jakarta:Fakultas Ekonomi UI.
Sumber internet: