ASAS-ASAS DARI HUKUM
PIDANA INTERNASIONAL
1. PENDAHULUAN
Hukum
pidana internasional sendiri bersumber dari dua bidang hukum yaitu, hukum
internasional mengenai masalah-masalah pidana dan hukum pidana nasional yang
mengandung dimensi-dimensi internasional. Oleh karena itu, maka asas-asas
hukumnya pun juga bersumber dari asas-asas hukum dari kedua bidang hukum
tersebut. Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan dibahas satu persatu dibawah
ini dan selanjutnya akan dibahasa hubungan antar keduanya serta bagaimana
perwujudannya dalam bentuk kaidah-kaidah hukum pidana internasional dasn
akhirnya bagaimana seharusnya Negara-negara menyikapinya.
2. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
YANG BERASAL DARI HUKM PIDANA INTERNASIONAL
Asas-asas
dari hukum internasional yang paling utama dalam hukum pidana internasional
adalah asas kemerdekaan, kedaulatan, dan
kesamaan derajat Negara-negara. Selanjutnya dari asas-asas tersebut yang
paling utama ini dapat diturunkan beberapa asas lainnya yang secara umum sudah
diakui didalam teori maupun praktek hukum dan hubungan internasional.
Masing-masing asas tersebut meliputi :
2.1. Asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan
derajat negara-negara
Asas
inilah yang menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar
ataupun kecil, kuat ataupun lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang
sama antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan hukum internasional.
Turunan asas-asas ini meliputi :
- Asas non intervensi,
- Asas saling menghormati kemerdekaan,
kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara,
- Asas hidup berdampingan secara damai
,
- Asas penghormatan dan perlindungan
atas hak asasi manusia,
- Asas bahwa suatu Negara tidak boleh
melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan didalam wilayah Negara
lainnya,
- Dan lain-lain.
Dari
asas-asas inilah selanjutnya dapat diturunkan kaidah-kaidah hukum internasional
yang lebih konkrit dan positif yang mengikat dan diterapkan terhadap
subyek-subyek hukum internasional pada umumnya dan Negara-negara pada khususnya
yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum internasional.
Dalam
hubungannya dengan hukum pidana internasional, kaidah hukum pidana
internasional yang secara konkrit dapat dirumuskan adalah, berupa larangan bagi
suatu Negara untuk melakukan penangkapan secara langsung atas seseorang yang
sedang berada di wilayah Negara lain yang diduga telah melanggar hukum pidana
nasionalnya, kecuali Negara yang bersangkutan menyetujuinya, sebab tindakan
semacam ini jelas bertentangan dengan kemerdekaan, kedaulatan, dsan kesamaan
derajat Negara-negara. Salah satu contoh pelanggaran asas ini adalah tindakan
Israel yang menculik Adolf Eichmann untuk membawa dan mengadili beliau di
Israel.
2.2. Asas non-intervensi
Menurut
asas ini, suatu Negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri
Negara lain, kecuali Negara itu menyetujuinya secara tegas. Jika suatu Negara,
misalnya, dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun
mendukung pemberontakan bersenjata yang gerjadi didalam suatu Negara lain tanpa
persetujuan Negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas
non-intervensi. Contoh konkrit dari pelanggaran asas non-intervensi adalah
tindakan Israel mengintervensi Libanon pada tahun 1984 dan tindakan Amerika
Serikat dan sekutunya untuk menyerbu Irak pada tahun 2004.
2.3. Asas hidup berdampingan secara damai
Asas ini
menekankan kepada Negara-negara dalam menjalankan kehidupannya, baik secara
internal maupun eksternal, supaya dilakukan dengan cara hidup bersama secar
damai, saling menghargai antara satu dengan yang lainnya. Apabila ada masalah
atau sengketa yang timbul, antara dua atau lebih Negara, supaya diselsaikan
secar damai. Wujud dari asas hiddup berdampingan secara damai adalah dapat
dilihat dari pengaturan masalah-masalah internasional baik dalam ruang lingkup
global, regional, maupun bilateral adalah dengan merumuskan
kesepakatan,kesepakatan untuk mengatur masalah-masalah tertentu dalam
perjanjian internasional.
2.4. Asas penghormatan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia
Asas ini
membebani kewajiban kepada Negara-negara bahkan kepada siapapun untuk
menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi
bagaimanapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh
Negara-negara atau seseorang tidka boleh melanggar ataupun bertentangan dengan
hak asasi manusia. Contoh, sebuah Negara membuat peraturan perundang-undangan
nasional dalam hukum pidana, seperti undang-undang anti terorisme, dan
lain-lain. Tidka boleh ada ketentuan yang bertentangan dengan hak asasi
manusia.
Hal ini
sudah tertuang dalam Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment, 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada tanggal 26
Juni 1987 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Anti Penyiksaan, adalah salah
satu contoh konvensi dalam bidang hukum pidana internasional yang secara
langsung berkenaan dengan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.
3. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL YANG
BERASAL DARI HUKUM PIDANA NASIONAL NEGARA-NEGARA
Asas-asas
hukum pidana nasional Negara-negara pada dasarnya tidak berbeda antara astu dengan
yang lainnya. Dua asas utama dalam hukum pidana nasional Negara-negara adalah
asas legalitas (asas nullum delictum dan asas culpabilitas. Dari kedua asas ini
diturunkan beberapa asas lainnya dari hukum pidana nasional. Asas hukum pidana
nasional yang diturunkan dari asas culpabilitas adalah asas tidak ada hukuman
tanpa kesalahan, asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan asas
ne bis in idem.
3.1 Asas legalitas
Asas
legalitas yang dikenal juga dengan nama asas nullum delictum noela poena sine
lege………sebagai salah satu asas utama di dalam hukum pidana nasional
Negara-negara, pada hakekatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat
dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu
perundangan-undangan pidana nasional. Tegasnya, seseorang untuk dapat diadili
dan atau dijatuhi hukuman atas perbuatannya jika terbukti bersalah ataupun
dibebaskan dari tuntutan pidana jika tidak terbukti bersalah, haruslah
didasarkan pada pada adanya undang-undang pidana yang ada dan berlaku sebelum
perbuatan itu dilakukan.
3.2 Asas non-retroactive
Asas
non-retroactive ini merupakan turunan dari asas legalitas. Dengan keharusan
untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatan sebagai kejahatan atau
tindakan pidana didalam hukum atau perundang-undangan pidana nasional, dan atas
dasar itu barulah Negara menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan tersebut.
3.3 Asas culpabilitas
Asas ini
yang juga merupakan salah satu asas utama dari hukum pidana nasional
Negara-negara menyatakan, bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila
kesalahannya sudah dapat dibuktikan berdasarkan atas peraturan
perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan
oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu. Sebaliknya jika
kesalahannya tidak berhasil dibuktikan, maka dia harus dibebaskan, dari
tuntutan pidana.
3.4 Asas praduga tak bersalah (presumption of
innocent)
Menurut
asas ini, seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana
wajib untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan
berdasarkan suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan mengikat
yang pasti. Berdasarkan asas ini, setiap orang yang didakwa melakukan suatu
kejahatan atau tindak pidana harus diperlakukan sebagaimana layaknya manusia
biasa yang tidak bersalah, denagn segala hak asasi manusia yang melekat pada
dirinya.
3.5 Asas ne/non bis in idem
Asas ini
menegaskan, bahwa orang yang sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang sudah
memiliki kekuatan mengikat yang pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas
suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh
diadili dan atau diajtuhi putusan untuk yang kedua kalinya atau lebih, atas
kejahatan atau tindak pidana tersebut. Dengan perkataan lain, seseorang tidak
boleh diadili dan atau dijatuhi putusan lebih dari satu kali atas perbuatan
yangdialkukannya. Adapun dasar pertimbangannya adalah, karena dia akan sangat
dirugikan dan terhadapnya tidak diberikan jaminan kepastiqan hukum.
Perlu
ditegaskan disini, bahwa putusan badan peradilan itu bisa saja berupa putusan
penghukuman ataupun putusan pembebasan atau pelepasan terhadap dirinya. Jika
dia sudah diputuskan dengan sanksi pidana tertentu dan sudah selesai
dilaksanakan, maka sesudahnya dia akan kembali seperti orang biasa pada
umumnya, dengan segala hak dan kewajibannya.
Kewajiban
suatu Negara (termasuk badan peradilannya) untuk menghormati Negara lain
(termasuk badan peradilan dan perutusannya), berdasarkan pada asas kemerdekaan,
kedaulatan dan kesamaan, derajat Negara-negara. Seperti telah dikemukakan
diatas. Tegasnya, setiap Negara wajib menghormati segala apa yang dilakukan
oleh suatu Negara di dalam batas-batas wilayahnya. Termasuk dalam mengadili dan
memutuskan suatu kasus yang dilakukan oleh badan peradilannya. Oleh karena itu,
proses pemeriksaan suatu perkara dihadapan badan peradilan nasionalnya serta
putusannya sendiri juga harus dihormati. Jika ini dilanggar, maka sama artinya
dengan tidak menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat
Negara-negara.
4. Asas-Asas Hukum Pidana Internasional Yang
Benar-Benar Mandiri
Asas-asas
Hukum Pidana Internasional yang benar-benar mandiri dihasilkan melalui
kesepakatan yang dituangkan dalam sebuah konvensi internasional, yakni
perjanjian london 8 Agustus 1945 yang juga merupakan Piagam atau Charter dari
Mahkamah Militer Internasional (International Military Tribunal) di Nurenberg
1945 dan di Tokyo 1946 maupun yang menjiwai putusannya dalam kasus-kasus
pengadilan atas penjahat perang pada waktu Perang Dunia II, Ada tujuh prinsip atau asas yang ditetapkan
dalam perjanjian ini. Pada kurun waktu tersebut perjanjian ini dipandang
sebagai langkah progresif, dimana sebelumnya individu / orang perorangan tidak
pernah dimintakan pertanggung jawaban secara internasional atas
kejahatan-kejahatan yang dilakukannya berdasarkan hukum internasional (crimes
under international law).
Prinsip
atau asas hukum dalam Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg kemudian
diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) dalam
sidang kedua tahun 1950, yang disampaikan kepada Majelis Umum PBB namun tidak
ada tindak lanjut yang jelas tetapi kini telah diakui sebagai prinsip-prinsip
atau asas-asas hukum pidana internasional.
Sejak
berlakunya perjanjian London 1945 ini ditindak lanjuti dengan pembentukan
Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1945 dan Tokyo 1946 serta
putusan-putusan yang telah dikeluarkan, kedudukan individu sebagai subjek hukum
internasional secara de jure dan de facto dikukuhkan sebab dapat dimintakan
pertanggung jawaban secara langsung pada tataran internasional melalui badan
peradilan pidana internasional (Pengadilan Nurenberg dan Tokyo, dan diperkuat
dengan pembentukan badan pengadilan internasional ad hoc, seperti Mahkamah
Kejahatan Perang dalam kasus ex-Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994, dan berdirinya
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) berdasarkan
Statuta Roma 1998.
Ketujuh
prinsip atau asas hukum pidana internasional sebagaimana terdapat didalam
Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1946 yang diformulasikan
pada tahun 1950 yaitu :
Principle I :
Any
person who commits an act which constitutes a crime under internasional law is
responsible therefor and liable to punishment. (Setiap orang yang melakukan
suatu perbuatan yang merupakan suatu kejahatan berdasarkan hukum internasional
harus bertanggung jawab dan oleh karena itu dapat dijatuhi hukuman).
Principle II :
The fact
that internal law does not impose a penalty for an act which constitutes a
crime under international law does not relieve the person who committed the act
from responsibility under international law. (Suatu kenyataan bahwa hukum
nasional atau domestik tidak memaksakan suatu hukuman terhadap suatu perbuatan
yang merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional tidaklah membebaskan
orang yang bersangkutan yang telah melakukan perbuatan tersebut dari
pertanggung-jawabannya berdasarkan hukum internasional).
Principle III :
The fact
that a person who committed an act which constitutes a crime under
international law acted as a Head of State or responsible Government official
does not relieve him from responsibility under international law. (suatu
kenyataan bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan
kejahatan berdasarkan hukum internasional bertindak sebagai kepala negara atau
pejabat pemerintah yang bertanggung jawab tidaklah membebaskan yang
bersangkutan dari pertanggung jawaban berdasarkan hukum internasional).
Principle IV :
The fact
that a person acted persuant to order of his Government or of a superior does
not relieve him from responsibility under international law, provided a moral
choice was in fact possible to him. (suatu kenyataan bahwa seseorang yang
melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan perintah dari pemerintahnya atau
dari kekuasaan yang lebih tinggi, tidaklah membebaskannya dari
pertanggungjawaban berdasarkan hukum internasional, sepanjang masih ada
perimbangan moral yang dapat dipilihnya).=
Principle V :
Any
person charged with a crime under international law has the right to a fair
trial on the facts and law. (seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan
berdasarkan hukum internasional mempunyai hak atas peradilan yang fair atau
tidak memihak atas fakta-fakta dan hukumannya).
Priciple VI :
The crime
hereinafter set out are punishable as crimes under international law
(kejahatan-kejahatan dibawah ini yang dapat dihukum sebagai kejahatan
berdasarkan hukum internasional, adalah) :
(a) Crimes againts peace (Kejahatan terhadap
perdamaian) :
i. Planning, preparation, initiation or
waging of a war of aggression or a war in violation of international treaties,
aggreements or assurances (Perencanaan, persiapan, berinisiatif, atau
mengobarkan perang agresi atau perang yang merupakan pelanggaran atas
perjanjian-perjanjian, persetujuan-persetujuan, atau penjaminan-penjaminan
internasional);
ii. Partisipation in a common plan or conspiracy
for the accomplishment of any of the acts mentioned under (i) (berpartisipasi
dalam perencanaan bersama atau berkonspirasi dalam perbuatan-perbuatan yang
ditentukan dalam butir (i)) ;
(b) War crimes (Kejahatan perang) :
Violations
of the laws or customs of war which include, but are not limited to, murder,
ill-treatment or deportation to slave labour or for any other purpose of
civilian population of or in occupied terrirtory; murder or ill-treatment of
prisoners of war, of persons on the seas, killing of hostages, plunder of
public or private property, wanton destruction of cities, towns, or villages,
or devastation not justified by military necessity.(Pelanggaran-pelanggaran
atas kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan dalam perang, yang termasuk didalamnya,
tetapi tidak terbatas pada pembunuhan, perlakuan sewenang-wenang atau
pendeportasian terhadap tenaga kerja budak atau untuk tujuan lain dari penduduk
sipil dari atau di wilayah pendudukan, pembunuhan atau perlakuan
sewenang-wenang terhadap tawanan perang, orang-orang yang sedang berlayar
dilaut, membunuh sandera, pengrusakan atas properti milik pribadi ataupun umum,
perusakan brutal atas kota-kota besar maupun kecil, desa-desa, atau tindakan
pengrusakan yang tidak dibenarkan berdasarkan kebutuhan militer) ;
(c) Crimes againts humanity (Kejahatan
terhadap kemanusiaan) :
Murder,
extermination, enslavement, deportation and other inhuman acts done againts any
civilian population, or persecutions on political, racial or religious grounds,
when such acts are done or such persecutions are carried on in execution of or
in connexion with any crime againts peace or any war crimes. (Pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pendeportasian, dan perbuatan perbuatan lain yang tidak
berprikemanusiaan yang dilakukan terhadap penduduk sipil, atau penyiksaan atas
dasar alasan politik, ras atau agama, apabila perbuatan atau penyiksaan itu
dilakukan dalam hubungan dengan suatu kejahatan terhadap perdamaian atau suatu
kejahatan perang).
Priciple VII :
Complicity
in the commission of a crime againts peace, a war crime, or a crime againts
humanity as set forth in principle VI is a crime under international law
(Keterlibatan dalam suatu perbuatan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan
perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana ditentukan dalam
Prinsip VI adalah merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional).
Prinsip I
Di dalam
Prinsip I secara tegas dinyatakan beberapa butir penting yang perlu ditelaah
secara lebih mendalam, yaitu :
a) Orang atau individu sebagai pelaku
kejahatan;
b) Kejahatan yang dilakukannya tergolong
sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional;
c) Individu si pelaku kejahatan berdasarkan
hukum internasional itu dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya;
d) Sebagai individu yang harus
bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya, maka individu tersebut dapat
dikenakan hukuman.
Mengenai
orang atau individu, adalah setiap orang atau individu, tanpa memandang apapun
kedudukannya. Dia bisa seorang kepala negara, kepala pemerintahan, ataupun
pejabat tinggi sipil maupun militer, bahkan orang-perorangan biasapun juga
termasuk. Semuanya bisa saja melakukan kejahatan baik secara sendiri-sendiri,
secara bersama-sama, ataupun yang satu sebagai pelaku utama, yang lain sebagai
turut serta, ataupun sebagai pembantu saja.
Kejahatan-kejahatan
berdasarkan hukum internasional (Prinsip VI) adalah kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika
kejahatan yang dilakukannya tidak termasuk dalam hukum internasional maka
sepenuhnya tunduk pada hukum pidana nasional.
Pertanggungjawaban
atas kejahatan atau perbuatan yang dilakukannya berdasarkan hukum internasional
adalah tanggung jawab pidana (kriminal), prosedurnya dengan mengajukannya
sebagai terdakwa dihadapan badan peradilan pidana internasional. Tetapi jika
atas perbuatannya (kejahatan berdasarkan hukum internasional) itu sudah diatur
didalam hukum pidana nasional negara-negara, maka negara yang memiliki
yurisdiksi atas perbuatannya itu dan juga memiliki kemauan dan kemampuan untuk
menerapkan hukum pidana nasionalnya, dapat mengadili sendiri berdasarkan hukum
pidana nasionalnya.
Setelah
orang atau individu bersangkutan dimintakan pertanggung jawaban dihadapan badan
peradilan (nasional ataupun internasional) melalui proses peradilan yang adil,
fair, dan tidak memihak, maka sebagai konsekuensinya jika ia terbukti bersalah
maka dijatuhi hukuman, jika tidak terbukti bersalah maka dia akan dibebaskan
dari tuntutan hukum. Adapun tempat menjalani hukuman jika yang mengadili adalah
badan peradilan pidana nasional suatu negara maka dinegara itulah ia menjalani
hukuman, sedangkan jika yang mengadili adalah badan peradilan pidana
internasional maka badan peradilan itulah yang menentukan dinegara mana ia
harus menjalani hukuman.
Prinsip II
Substansi
dari Prinsip II ini menekankan pada usaha untuk menghindari impunitas
(impunity) bagi sipelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional. Ada
kemungkinan seseorang pelaku kejahatan, termasuk pelaku kejahatan berdasarkan
hukum internasional, menghindar dari tuntutan hukum dari negara yang memiliki
yurisdiksi dengan jalan meninggalkan wilayah negara tersebut dan bersembunyi
diwilayah negara lain. Atau negara yang memiliki yurisdiksi ternyata tidak
mengatur perbuatan yang merupkan kejahatan berdasarkan hukum internasional itu
didalam hukum pidana nasionalnya, atau jika negara itu sudah mengaturnya tetapi
negara itu tidak mampu dan atau tidak mau mengadili orang yang bersangkutan,
bahkan melindunginya.
Prinsip
II ini menegaskan, jika hukum nasional tidak mengancam dengan sanksi pidana
(hukuman pidana) atas kejahatan berdasarkan hukum internasional hal ini
tidaklah membebaskan orang yang bersangkutan dari tanggung-jawabnya atas
perbuatannya. Pertanggung-jawaban yang harus dihadapinya adalah
pertanggung-jawaban menurut hukum internasional.
Prinsip III
Prinsip
III ini berkenaan dengan kejahatan berdasarkan hukum internasional yang
dilakukan oleh seseorang dalam kedudukannya sebagai kepala negara atau pejabat
pemerintah yang bertanggung jawab. Dalam hubungan keluar, negaranya melalui
pemerintahnyalah yang harus bertanggung jawab atas perbuatan kepala negara,
kepala pemerintah ataupun pejabat negara bersangkutan. Jika negaranya sudah
mempertanggung jawabkan perbuatannya itu yang mungkin merugikan salah satu
pihak atau lebih (negara, organisasi internasional, ataupun subjek-subjek hukum
internasional lainnya), maka sudah selesailah masalahnya.
Jika
perbuatan dari kepala negara, kepala pemerintah, ataupun pejabat negara yang
berwenang itu merupakan suatu kejahatan atau tindak pidana berdasarkan hukum
internasional (crimes under international law) maka tidak bisa menghindarkan
diri dari pertanggungjawaban berdasarkan hukum internasional dengan berlindung
dibalik jabatannya maupun negaranya, dia tetap dapat dimintakan
pertanggungjawaban menurut hukum internasional dihadapan badan peradilan pidana
internasional, dengan asalan ia sebagai individu yang melakukan kejahatan
tersebut (meskipun dengan mengatasnamakan jabatan atau negaranya).
Prinsip IV
Berkenaan
dengan perintah atasan terhadap bawahannya untuk melakukan kejahatan
berdasarkan hukum internasional, seorang pelaku kejahatan berdasarkan hukum
internasional tidak boleh berlindung atau berdalih untuk menghindarkan diri
dari pertanggung jawaban atas perbuatannya, dengan alasan ia melakukan
perbuatan tersebut disebabkan karena adanya perintah dari pemerintahnya sendiri
atau dari kekuasaan yang lebih tinggi kedudukannya dari dirinya.
Berdasarkan
Prinsip IV apapun alasannya untuk menghindari tanggung jawab atas perbuatannya,
alasan itu tidak dapat digunakan. Artinya dia harus mempertanggung jawabkan
kejahatan yang telah dilakukannya berdasarkan hukum internasional, meskipun ia
melakukannya karena perintah dari pemerintah maupun dari atasannya.
Prinsip V
Merupakan
pengakuan atas hak-hak dari individu atau orang yang didakwa sebagai pelaku
kejahatan berdasarkan hukum internasional, yaitu hak atas peradilan yang fair
baik atas masalah hukum maupun fakta-fakta didalam proses persidanganya, dan
hak lainnya seperti hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak untuk tidak
dianggap bersalah (presumption of innocent), hak untuk tidak dikenakan hukum
secara berlaku surut, dan lain-lain yang sudah umum berlaku didalam proses
peradilan negara-negara demokrasi didunia.
Prinsip VI
Berkenaan
dengan kejahatan apa saja yang merupakan kejahatan berdasarkan hukum
internasional (crimes under international law), yaitu :
a) Kejahatan terhadap perdamaian (crimes
against peace);
b) Kejahatan perang (war crimes), dan
c) Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity)
Kejahatan
inilah yang dapat dituduhkan terhadap siapapun yang didakwa melakukan kejahatan
berdasarkan hukum internasional oleh Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg
1945 dan di Tokyo 1946, dan yang diadopsi dan diterapkan oleh Mahkamah
Kejahatan Perang dalam kasus ex.Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994, serta Mahkamah
Pidana Internasional yang termuat dalam Pasal 5 ayat 1 statuta Roma 1998.
Prinsip VII
Prinsip ini
memperluas subjek-subjek hukum, tidak saja mereka yang melakukannya tetapi juga
mereka yang terlibat didalamnya, sejauh mana seseorang dapat dipandang terlibat
atau melibatkan diri dalam suatu kejahatan berdasarkan hukum internasional
(kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap
kemanusiaan) masalah ini ditentukan secara kasus demi kasus.
5. Asas-Asas Hukum Pidana Nasional
Negara-Negara dan Instrumen-Instrumen Hukum Internasional tentang Hak Asasi
manusia.
Asas-asas
hukum pidana nasional yang sudah dipaparkan secara singkat diatas, hampir
keseluruhannya dapat dijumpai didalam instrumen-instrumen hukum internasional
tentang hak asasi manusia, seperti didalam Universal Declaration of Human
Rights 1948; International Convenant on Economic, Sosial, and Cultural Rights
1966; International Convenant on Civil and Political Rights 1966; maupun
didalam instrumen-instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
regional, seperti dalam European Convention on Human Rights and Fundamental
Freedoms 1950; American Convention on Human Rights 1969; dan African Charter on
Human and People’s Rights 1981.
Asas-asas
hukum pidana nasional itu sendiri dapat dikatakan adalah juga merupakan
asas-asas dari hukum pidana internasional yang bersumber dari hukum (kebiasaan)
internasional.
6. Asas-Asas Hukum Pidana Internasional
Merupakan Perpaduan Antara Asas-Asas Hukum Internasional dan Asas-Asas Hukum
Pidana Nasional Negara-Negara.
Asas-asas
hukum internasional menjadi landasan bagi negara-negara didalam melakukan
hubungan-hubungan internasional, misalnya dalam membuat perjanjian-perjanjian
internasional tersebut tidak bertentangan antara satu dengan lainnya, bahkan
dapat saling mengisi atau saling melengkapi yang semuanya terjalin dalam satu
sistem yang terintegrasi serta tampaklah keterpaduannya.
Dalam
praktek penerapan hukum pidana nasionalnya masing-masing, terutama dalam
menghadapi suatu kejahatan atau tindak pidana internasional, negara-negara
berkewajiban untuk berlandaskan pada asas-asas hukum internasional tersebut.
Sehingga suatu negara tidak akan melanggar asas kemerdekaan, kedaulatan, dan
kesamaan derajat, tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang merupakan campur
tangan atas masalah dalam negeri negara lain, ataupun tindakan tidak bersahabat
yang lainnya, yang bertentangan dengan asas hidup berdampingan secara damai,
dan lain sebagainya.
Penerapan
asas-asas hukum internasional pada umumnya tetap harus menghormati asas-asas
hukum pidana nasional negara-negara. Asas-asas dari hukum pidana internasional
yang berasal dari asas-asas kedua bidang hukum tersebut (hukum internasional
dan hukum nasional negara-negara) tidak dapat dipandang secara terpisah ataupun
berdiri sendiri, melainkan harus dipandang sebagai satu kesatuan yang
terintegrasi atau terpadu, yakni sebagai asas-asas dari hukum pidana
internasional.