Fokus utama teori hukum
murni, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide transendental yang
sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak berusaha
memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang tua
yang suci. Teori hukum tampaknya memegang teguh suatu perbedaan yang
tegas antara hukum empirik dan keadilan transendental dengan meniadakan
keadilan transendental dari perhatian spesifiknya. Teori ini tidak
melihat manifestasi dari suatu otorita gaib di dalam hukum, melainkan
meninjau suatu teknik sosial spesifik yang didasarkan pada pengalaman
manusia; teori hukum murni menolak untuk dijadikan ilmu
metafisika hukum. Pada dasarnya, tidak ada perbedaan esensial antara
ilmu hukum analitik dan teori hukum murni. Adapun letak perbedaannyam,
kedua bidang itu berbeda karena teori hukum murni berusaha untuk
melanjutkan metode hukum analitik dengan lebih konsisten dari yang
diupayakan Austin dan para pengikutnya.
Usaha yang konsisten ini
terutama menyangkut konsep-konsep fundamental, seperti konsep norma
hukum di satu pihak dan konsep-konsep hak dan kewajiban hukum di lain
pihak. Di Perancis dan Jerman, ilmu hukum disajikan secara berbeda
antara hukum dalam pengertian obyektif dan hukum dalam pengertian
subyektif, dan terakhir menyangkut hubungan antara hukum dan negara.
Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap
ilmu hukum yang ideologis, yakni yang hanya mengembangkan hukum itui
sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter. Teori ini lazim
dikaitkan pada mazhab Wina yang tokohnya adalah Hans Kelsen.
Pada
dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin.
Walaupun Kelsen ketika mulai mengembangkan teori-teorinya, seperti
diakui kemudian, sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Asal-usul
falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari Utilitarianisme Austin. Dasar
falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme, hal ini menghubungkan
kelsen dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan Delfeccio, tetapi
simpulan-simpulan yang ditarik Kelsen dan Madzhab Wina dari dalil-dalil
aliran Neo-Kant, secara radikal bertentangan dengan dalil-dalil kedua
kedua ahli hukum ini. Stamler menjadi terlibat dalam kesukaran-kesukaran
teori hukum murni yang berlaku di seluruh dunia, bersih dari segala
sesuatu yang dapat berubah, tetapi masih mampu memberikan
gagasan-gagasan yang memberi bimbingan bagi ahli hukum yang mencari
keadilan.
Madzhab
Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni,
dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yakni pengetahuan yang
bebas dari naluri, kekerasan dan keinginan. Baik Stamler maupun Del
Vecchio mengkombinasikan perbedaan bentuk dan materi dari Kant dengan
ideologi hukum; Stamler dengan cita hukum yang semu formal yang ditarik
dari etika Kant, Del Vecchio dengan instuisi cita keadilannya yang
didasarkan atas kesadaran manusia. Kelsen dan para pengikutnya menolak
tiap idealisme hukum seperti itu dan menganggapnya tidak ilmiah. Teori
hukum harus murni formal dan di pihak lain hukum pada hakekatnya berbeda
dengan alam.
Ilmu
hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan hukum itu
semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma
adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami, melainkan
karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan
pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat
dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang
dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat
etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin
menciptakan suatu ilmu pengetahuan huikum murni, menghilangkan dari
semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari
ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga
tegas.
Kelsen
juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah.
Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan
pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang
dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen
dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi,
tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan
tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Teori
ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat saksama dari
aliran positivisme yang baru saja dibicarakan. Seperti dikatakan di
atas, ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum
sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada.
Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Ia
berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan; “Apakah
hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena
titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan
sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu
hukum. Ia adalah suatu konsep ideologis, suatu ideal yang “irasional”
(Bodenheimer, 1974:99). Dikatakan olehnya, “Pendapat yang umum
dikemukakan mengatakan, bahwa keadilan itu ada, tetapi pendapat itu
tidak bisa memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan suatu
keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat
dilepaskan dari kehendak (volition) dan tindakan manusia, tetapi ia
tidak bisa menjadi subyek pengetahuan. Dipandang dari sudut pengetahuan
rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan”.(Bodenheimer,
1974:99).
Dari
uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran
tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya.
Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis,
oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga tidak
boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan
pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Kelsen adalah sebagai
berikut (Friedmann, 1953:113):
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
2. Teori
hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan
tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yng spesifik.
6. Hubungan
antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah
seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Ilmu
hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen
berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen.
Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan
karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan
dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar
atau permulaan. Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu merupakan
dalil yang umum dan sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh konsekuensi
tertentu. Konsekuensi yang demikian itu akan dilaksanakan oleh kehendak
manusia sendiri juga. Oleh karena itu salah satu ciri yang menonjol
pada teori Kelsen adalah: paksanaan. Setiap hukum harus mempunyai alat
atau perlengkapan untuk memaksa ini (Allen, 1958:51).
Bagian
lain dari teori Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai
Grundnorm, suatu dalil akbar dan tidak dapat ditiadakan, yang menjadi
tujuan dari semua jalan hukum, bagaimana berputar-putarnya pun jalan itu
(Allen, 1958:51). Dengan demikian, maka dalil akbar yang disebut
sebagai Grundnorm itu kecuali berfungsi sebagai dasar, juga sebagai
tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang
ada. Semua hukum yang berada dalam kawasan rejim Grundnorm tersebut
harus bisa mengait padanya, oleh karena itu ia bisa juga dilihat sebagai
induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan
sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum;
tetapi ia selalu akan ada di situ, apakah dalam bentuk tertulis,
ataukah sebagai suatu pernyataan yang tidak tertulis.
Grundnorm
ini merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum.
Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipetuhi dan dia pula
yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum di situ harus
dilaksanakan. Oleh karena itu ia lebih merupakan suatu dalil daripada
peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar dari tata hukum
manakala orang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi apabila
orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka
keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh. Inilah yang disebut
revolusi.
Dalam
teori Kelsen, sejak mulai dari kelahiran “hipotesi perdana” (initial
hypothesis) yang disebut Grundnorm tersebut, maka proses selanjutnya pun
berputarlah sudah. Yang disebut sebagai proses di sisni adalah proses
konkretisasi setapak demi setapak, mulai dari norma dasar itu dan
penerapannya terhadap situasi tertentu. Proses ini melahirkan Stufentheorie,
yaitu yang melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri
norma-norma, dari mulai norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih
konkrit, sampai kepada yang paling konkrit. Pada ujung terakhir proses
ini, sanksi hukum lalu berupa izin yang diberikan kepada seseorang untuk
melakukan suatu tindakan atau memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini
apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini telah menjadi
sesuatu yang “boleh” dan “dapat” dilakukan (Dias, 1976:503).
Teori
Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum
positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari
semua pendapat (judgements) etik atau politik mengenai nilai” (Allen,
1958:52). Kritik yang ditujukan kepada teori Kelsen yang positivistis,
realistis dan murni itu, di antaranya didorong oleh pemikiran, bahwa
teori yang demikian itu akan terlalu menekankan pada hukum sebagai
konsep-konsep, yang mengutamakan studi terhadap hukum sebagai suatu
Deutungsschema yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan
nilai kemanusiaannya (Allen, 1958:54). Pengikut-pengikut Kelsen tertentu
menghawatirkan, bahwa teori itu akan terjatuh menjadi
Begriffsjurisprudenz yang kering. Yang disebut terakhir ini
mengembangkan ilmu hukum dari konsep-konsep yang ada melalui suatu
penalaran logis semata, sehingga menimbulkan kesan tentang adanya suatu
kekuatan dari hukum untuk melakukan suatu ekspansi logis.(Scholten,
1954:61). Ekspansi ini semata-mata didasarkan pada penalaran logis dan
tidak memperhatikan segi manusiawi dari konstruksinya, sehingga
diperoleh hasil yang secara logis benar, tetapi secara menusiawi mungkin
merupakan keanehan.
Oleh : Rudini T.H Silaban