Contoh Makalah kasus diplomatik hukum di indonesia



PELANGGARAN TERHADAP HAK KEKEBALAN DIPLOMATIK (STUDI KASUS PENYADAPAN KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA (KBRI) DI YANGON MYANMAR BERDASARKAN KONVENSI WINA 1961)



1. PENDAHULUAN 
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan mengetahui tentang status kekebalan gedung perwakilan diplomatik menurut Konvensi Wina 1961. Cara pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi dokumen.
            Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki seorang wakil diplomatik didasarkan pada pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada wakil diplomatik dalam melakukan tugasnya dengan sempurna. Hal tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap perwakilan diplomatik beserta fasilitas-fasilitasnya termasuk di dalamnya gedung perwakilan diplomatik asing. Tanggung jawab negara lahir apabila negara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum karena kesalahan atau kelalaiannya sehingga menimbulkan pelanggaran kewajiban hukum internasional. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap kekebalan dan keistimewaan wakil diplomatik, maka negara penerima dapat dikatakan tidak dapat memberikan perlindungan dan kenyaman terhadap para diplomatik dalam menjalankan fungsi dan misi-misinya.
            Penyelesaian sengketa Internasional antara Indonesia dengan Myanmar dalam kasus penyadapan gedung diplomatik dapat ditempuh dalam berbagai cara diantaranya melalui prosedur penyelesaian secara politik, hukum (yuridis) maupun dalam kerangka kerjasama ASEAN. Namun menggunakan jalur diplomatik atau jalur negosiasi yang didasarkan pada itikad baik dari kedua negara yang merupakan langkah awal yang paling baik dalam penyelesaian sengketa. Bila kesepakatan gagal diambil dalam jalur diplomasi, maka dapat ditempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara hukum dan membawanya ke Mahkamah Internasional.
2. Latar Belakang
Hubungan diplomatik dilihat dari perspektif hubungan internasional modern dapat dilakukan antar negara secara bilateral guna memelihara dan meningkatkan pembangunan bangsa dan negara dalam rangka mencapai tujuan nasional. Negara merupakan pilar utama dalam hubungan internasional secara formal. Syarat atau ciri pokok negara menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 (Huala Adolf;1990) tentang hak dan kewajiban negara sebagai berikut :
“Negara sebagai suatu pribadi Hukum Internasional seharusnya memiliki kualifikasi-kualifikasi sebagai berikut :
  1. penduduk yang permanen ;
  2. wilayah tertentu ;
  3. suatu pemerintahan ; dan
  4. kemampuan untuk berhubungan dengan negara lain.”
Kemampuan untuk berhubungan dengan negara lain dewasa ini mempunyai arti yang sangat penting dalam masyarakat internasional karena merupakan suatu bukti yang kuat atas kemampuan negara menjaga integritas teritorialnya. Dengan kemampuan tersebut menumbuhkan persamaan kedudukan/persamaan derajat antar negara, sekaligus merupakan refleksi adanya kemerdekaan dan kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara.
Dalam Pasal 74 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa termuat prinsip umum persahabatan antar negara yang didasarkan prinsip hidup bertetangga secara baik (good neighbourliness) dan harus diikuti oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa. Prinsip ini menjadi salah satu alasan atau dasar bagi negara-negara untuk mengadakan perjanjian dengan negara lain serta mengirim dan menerima perwakilan diplomatik dalam rangka mengembangkan hubungan lebih lanjut dalam berbagai bidang sesuai Hukum Internasional.
Pembukaan hubungan diplomatik pada umumnya harus memenuhi kriteria  atau syarat-syarat yang ditentukan dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, yaitu sebagai berikut :
  1. 1.   Harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak (mutual consent). Hal ini diuraikan secara tegas dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961, yang menyatakan bahwa pembentukan hubungan diplomatik antara negara-negara dilakukan dengan persetujuan timbal balik, dimana permufakatan bersama itu dituangkan dalam suatu bentuk persetujuan atau pernyataan bersama. Terselenggaranya hubungan diplomatik tersebut sudah tentu atas prakarsa dan kesepakatan negara-negara yang bersangkutan untuk menjalin persahabatan antara keduanya demi kepentingan masing-masing negara.
  2. Setiap negara melakukan hubungan atau pertukaran perwakilan diplomatik didasarkan atas prinsip-prinsip hukum yang berlaku, yaitu prinsip timbal balik (reciprositas) (A.Masyhur Effendi;1994;26).
Prinsip kesepakatan bersama dan prinsip resiprositas merupakan dua pilar utama untuk menegakkan hukum diplomatik, dari dua aspek tersebut masing-masing pihak akan saling menjaga, melindungi serta mengembangkan hubungan yang telah ada. Prinsip tersebut berlaku secara universal.
Secara tradisional fungsi perwakilan diplomatik yang dikirim ke negara asing, merupakan penyambung lidah pemerintahnya, dan sebagai jalur komunikasi resmi antara negara pengirimnya dengan negara dimana dia ditempatkan.
Mengenai fungsi-fungsi pejabat diplomatik lebih ditegaskan dalam Pasal 3 Konvensi Wina 1961, sebagai berikut :
  1. a.    Mewakili negara pengirim di dalam negara penerima ;
    1.  Melindungi kepentingan negara pengirim dan warganegaranya di negara penerima, di dalam batas-batas yang diijinkan oleh Hukum Internasional ;
c. Berunding dengan pemerintah negara penerima ;
  1. Mengetahui menurut cara-cara yang sah, keadaan-keadaan dan perkembangan di dalam negara penerima, dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim ;
  2. Memajukan hubungan persahabatan di antara negara pengirim dan negara penerima, dan membangun hubungan-hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Sekalipun terdapat perluasan fungsi-fungsi perwakilan diplomatik dari fungsinya yang tradisional, namun prinsip saling menjaga, melindungi dan mengembangkan hubungan ini harus tetap mendapat perhatian. Dengan demikian kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki anggota perwakilan diplomatik tidak dapat melampaui prinsip umum tersebut, disamping tetap melaksanakan kewajiban terhadap negara penerima.
Pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik bersumber pada hukum kebiasaan internasional yang tercermin dalam praktek negara di dalam hubungan internasional, khususnya undang-undang negara setempat. Dalam perkembangannya, kebiasaan internasional ini telah dituangkan dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik sehingga ketentuan-ketentuan pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang kini diakui secara internasional sebagai hukum internasional positif.
            Meskipun telah banyak negara telah meratifikasi Konvensi Wina 1961, namun ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut, khususnya mengenai jaminan hak-hak kekebalan dan keistimewaan yang dinikmati perwakilan diplomatik belum dilaksanakan sepenuhnya. Masih banyak tindakan-tindakan pelanggaran terhadap hak-hak kekebalan dan keistimewan diplomatik oleh negara-negara pesertanya.
Seperti diketahui bahwa pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik tergantung pada kewajiban internasional yang pelaksanaanya dilakukan menurut hukum nasional masing-masing negara. Perlindungan terhadap perwakilan diplomatik beserta fasilitas-falisitasnya merupakan salah satu tatakrama antara dua negara, sehingga pelaksanaan fungsi diplomatik dapat berjalan secara efektif dan efisien. Hal ini yang tertuang dalam Teori Functional Necessity, (Edy Suryono;1991;36) dimana dasar kekebalan dan keistimewaan seorang wakil diplomatik adalah bahwa seorang wakil diplomatik harus dan perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan tugasnya dengan sempurna. Teori ini lebih baik dibandingkan dengan teori lainnya yaitu Teori Exterritoriality dan Teori Representative Character. Karena mengingat pentingannya peranan seorang wakil diplomatik serta meningkatnya tingkat kejahatan terhadap para wakil-wakil diplomatik, Teori Functional Necessity sangat cocok diterapkan pada masa sekarang ini sebab perwakilan diplomatik tidak mungkin dapat menjalankan tugas-tugasnya jika perwakilan diplomatik tersebut tidak diberikan kekebalan dan keistimewaan tertentu.
Salah satu contoh dari bentuk pelanggaran terhadap hak-hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik adalah terjadinya penyadapan terhadap delapan kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), diantara yaitu  Myanmar (Yangon), Jepang (Tokyo), Kanada (Ottawan), China (Beijing), Korea Selatan (Seoul), Finlandia, Norwegia, dan Denmark. Yang sangat disesalkan dari kedelapan kator Kedutan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang di sadap, di Yangoon Myanmar, terjadi untuk kedua kalinya yakni pada tahun 2003 dan 2004.
Menyusul merebaknya kasus penyadapan di Yangoon, Myanmar, tim gabungan keamanan Republik Indonesia yang terdiri dari unsur Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Departemen Luar Negeri melakukan pemeriksaan di kantor KBRI Yangon, Myanmar. Pemeriksaan yang dilakukan secara cermat pada 24 Juni 2004, menunjukkan bahwa junta militer Myanmar secara ilegal menyadap semua aktivitas dan pembicaraan para diplomat Republik Indonesia yang bertugas di Yangoon, Myanmar dengan memasang alat penyadap pada dinding kamar kerja Duta Besar Republik Indonesia untuk Myanmar, sehingga terjadi penurunan frekuensi telepon dari 50 Mhz menjadi 30,1 Mhz.
Penyadapan ini dilakukan karena semua negara menyadari siapa yang menguasai informasi, dialah yang menguasai dunia. Atau setidak-tidaknya, negara tersebut bisa ikut berperan dalam persaingan global yang kian sengit. Dengan adanya kasus penyadapan di kantor KBRI di Yangon, Myanmar mencerminkan lemahnya sistem pengamanan disekitar gedung perwakilan diplomatik, dimana yang seharusnya ikut mengamankan dan melindungi gedung perwakilan diplomatik Republik Indonesia adalah pemerintah Myanmar akan tetapi ini tidak dilaksanakan dengan baik.
Dengan adanya kasus penyadapan tersebut, memicu reaksi yang keras di dalam negeri Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, banyak tekanan agar pemerintah meninjau ulang hubungan diplomatik Indonesia dengan Myanmar dengan cara menurunkan tingkat perwakilan Indonesia di Yangon, Myanmar, dan agar pemerintah mengajukan protes keras dan meminta penjelasan dari Dubes Myanmar di Jakarta.
Pemerintah Indonesia seharusnya mengambil sikap tegas atas penyadapan KBRI di Myanmar, namun tindakan yang diambil harus memperhatikan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan pemerintah Myanmar yang telah terjalin cukup lama sehinggga tidak menimbulkan dampak yang negatif yang lebih luas, yaitu terhadap hubungan multilateral mengingat Indonesia dan  Myanmar merupakan anggota ASEAN.
Jika pilihan yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah menurunkan tingkat perwakilan di Yangon, Myanmar, maka hal tersebut sulit untuk dikategorikan sebagai penyelesaian masalah secara damai. Langkah tersebut lebih pada sikap pemerintah Indonesia menghukum Myanmar, dimana hal ini merupakan sikap yang tidak kondusif bagi pelaksanaan pembentukan komunitas keamanan. Kebijakan semacam itu merupakan peyangkalan terhadap komitmen pembentukan Komunitas Keamanan (Security Community) yang diprakarsai Indonesia dan disepakati melalui konsensus oleh anggota negara-negara ASEAN dalam Bali Concord II. Dalam konsep Security Community, penyelesaian konflik secara damai merupakan inti dari komunitas. Adanya komunitas tersebut pada hahikatnya memang tidak menghilangkan kemungkinan munculnya konflik, akan tetapi bilamana konflik muncul seharusnya penggunaan kekerasan dan ancaman merupakan pilihan terakhir.
Dampak secara regional jika Indonesia menempuh kebijakan yang bersifat menghukum kepada Myanmar adalah runtuhnya kemajuan yang selama ini telah dicapai oleh negara-negara Asia Tenggara dalam kerangka hubungan antara anggota ASEAN. Tindakan tersebut akan menjadi preseden yang buruk bagi anggota negara-negara ASEAN lainnya dalam menyelesaikan permasalahan antar negara dalam tingkat regional.
Lebih jauh lagi, jika preseden tersebut untuk kedepannya dijadikan acuan dalam hubungan antar negara-negara Asia Tenggara, maka ASEAN secara organisasi berada diambang kepunahan. Jika organisasi ASEAN benar-benar punah, maka yang menjadi taruhan adalah runtuhnya stabilitas dan keamanan regional. Kita tidak akan lagi hidup secara damai satu sama lain karena berbagai konflik yang baru muncul berpotensi kearah eskalasi konflik yang lebih besar.
Permasalahan antara Republik Indonesia – Myanmar sehubungan kasus penyadapan kantor KBRI di Yangon, Myanmar, merupakan ujian bagi ketahanan Komunitas Keamanan ASEAN yang baru saja tercetuskan. Indonesia di hadapkan pada posisi yang dilematis. Di satu sisi Indonesia harus konsisten sebagai pihak yang selama ini mencetuskan dan memprakarsai penyatuan di Asia Tenggara. Sementara di sisi lain, kasus penyadapan tersebut merupakan pelanggaran kedaulatan Republik Indonesia mengingat fasilitas KBRI merupakan kelanjutan dari kedaulatan Republik Indonesia yang dijamin oleh Hukum Intenasional. Kasus ini terjadi bertepatan dengan berbagai momen yang diprakarsai oleh negara-negara anggota ASEAN menuju kearah peningkatan kerjasama. Jika kita mampu melewati batu sandungan tersebut dengan baik, maka untuk kedepannya kita akan mampu untuk menjawab berbagai kendala dan tantangan bagi kelangsungan Komunitas Keamanan ASEAN.
Rumitnya cara penyelesaian sengketa atas pelanggaran hak kekebalan gedung perwakilan diplomatik oleh negara penerima menjadi tantangan bagi Bangsa Indonesia agar dapat mengambil tindakan yang tepat berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang sesuai dengan Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, meminta pertanggungjawaban dari negara penerima atas pelanggaran terhadap hukum diplomatik serta menyelesaian kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangoon, Myanmar secara damai supaya tidak menimbulkan ketegangan bagi negara lainnya demi mempertahankan kerjasama bilateral maupun multilateral yang telah terjalin dengan baik. Berdasarkan pembahasan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang akan dikemukakan dalam penulisan ini adalah bagaimana status kekebalan gedung perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961?, bagaimana tanggung jawab negara/pemerintah atas pelanggaran terhadap hukum diplomatik?, bagaimana penyelesaian sengketa atas kasus penyadapan KBRI di Yangon, Myanmar?
2.    Metode Penelitian
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dimana penelitian ini bertolak dari ketentuan-ketentuan hukum internasional yaitu Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik. Bahan hukum dalam penelitian ini diperoleh dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang berkaitan dengan hubungan diplomatik khususnya adalah  Konvensi Wina 1961 dan ketentuan lain yang berkaitan.
Bahan hukum sekunder adalah berupa studi kepustakaan yaitu dengan membaca buku-buku, media cetak/media elektronik, termasuk web site dari internet. Hal yang pertama dilakukan adalah melakukan studi kepustakaan yang berkaitan dengan materi yang dibahas dalam penelitian yakni dengan membaca ketentuan-ketentuan hukum internasional, peraturan perundangan, buku-buku, dan literatur kemudian diseleksi berdasarkan klasifikasi prioritas berhubungan dengan kasus yang ada. Bahan-bahan hukum yang sesuai kemudian dirumuskan secara sistematis sesuai dengan pokok-pokok bahasan.
Berdasarkan pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini, maka data yang diperoleh baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikelompokkan dan dikaji dengan pola pikir deduktif yaitu beranjak dari konsep-konsep umum yang ada dalam hukum internasional dikaitkan dengan kenyataan empirik. Dengan demikian akan diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan rumusan masalah.
  1. 3.        Pembahasan
3.1 Status Kekebalan Gedung Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961
       Pada abad ke-16 dan 17, hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktek-praktek negara di dalam pertukaran duta-duta besar antara negara-negara Eropa. Prinsip untuk memberikan kekebalan dan keistimewaan oleh negara didasarkan atas dasar timbal balik, hal ini diperlukan guna menjamin agar perwakilan diplomatik atau missi asing di suatu negara dapat menjalankan tugas missinya secara bebas dan aman. Pemberian kekebalan terhadap perwakilan diplomatik dari yurisdiksi pidana di negara penerima telah mulai dilakukan oleh banyak negara dalam abad ke-17 sebagai kebiasaan internasional. Kemudian dibuatlah undang-undang mengenai para diplomatik asing yang dibebaskan dari jurisdiksi perdata maupun pidana. Undang-undang tersebut terkenal sebagai “ 7 Anne, Cap 12.2/ 706” dan ini menjadi dasar bagi kekebalan dan keistimewaan para perwakilan diplomatik (Sumaryo Suryokusumo:1995:51).
Pada abad ke-18, aturan-aturan kebiasaan internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik mulai ditetapkan, diantaranya adalah mengenai gedung perwakilan diplomatik. Gedung yang dipakai oleh perwakilan diplomatik, baik gedung itu milik negara pengirim atau kepala perwakilan tidak dapat diganggu gugat oleh para penguasa negara penerima dan  dibebaskan dari perpajakan, kecuali bagi pajak-pajak dalam bentuk biaya pelayanan khusus seperti tarif air. Kemudian pada abad ke-20, mengenai hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik mengalami perkembangan di beberapa negara, dimana kekebalan diplomatik cenderung ke arah bentuk-bentuk baru dalam komunikasi diplomatik sepertiwireless transmitter dalam perwakilan diplomatik. Ada beberapa kodifikasi dari aturan-aturan dalam hukum diplomatik dua di antaranya yang paling penting adalah Havana Convention on Diplomatic Officers, yang ditandatangani dalam tahun 1982, dan Harvard Research Draft Convention on Diplomatic Privileges and Immunities, yang diterbitkan dalam tahun 1932.
Pemberian hak kekebalan pada gedung perwakilan diplomatik dianggap sebagai kebiasaan internasional. Sesuai dengan aturan-aturan kebiasaan hukum internasional, gedung perwakilan diplomatik negara asing memiliki kekebalan yang kuat dari yurisdiksi negara pengirim. Pemberian hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik didasarkan prinsip resiprositas antarnegara dan prinsip ini mutlak diperlukan dalam rangka :
  1. Mengembangkan hubungan persahabatan antar negara, tanpa mempertimbangkan sistem ketatanegaraan dan sistem sosial-budaya mereka yang berbeda ;
  2. Bukan untuk kepentingan perseorangan tetapi untuk menjamin terlaksananya tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama dalam tugas dari negara yang diwakilinya.
            Dalam hukum internasional pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik, dikenal beberapa teori. Teori yang dimaksud adalah sebagai berikut :
  1. a.        Teori Exterritoriality
Menurut teori ini perwakilan diplomatik dianggap tidak berada di wilayah negara penerima, melainkan berada di wilayah negara pengirim meskipun kenyataannya ia berada di wilayah negara penerima. Oleh karena itu, perwakilan diplomatik tidak tunduk pada hukum negara penerima. Sebenarnya teori ini menghendaki bahwa setiap perwakilan diplomatik hanya dikuasai oleh hukum negara pengirim, sedangkan gedung/kantor perwakilan dan tempat kediamannya dianggap sebagai bagian dari wilayah negara pengirim. Jadi menurut teori exterritoriality, gedung/kantor perwakilan dan tempat kediaman di luar kekuasaan negara penerima dan merupakan suatu perluasan dari wilayah negara pengirim.
Dalam prakteknya, konsekuensi diterimanya teori exterritoriality sangat berat bagi negara penerima oleh karenanya tidak dapat dipertahankan lagi. Namun kebanyakan penulis moderen masih menggunakan istilah exterritoriality hanya sekedar untuk menunjukkan bahwa negara penerima tidak mempunyai wewenang untuk menegakkan kedaulatan di gedung/kantor perwakilan diplomatik.
  1. b.        Teori Representative Character
Teori ini menyatakan bahwa perwakilan diplomatik sebagai perwakilan negara yang berdaulat terikat sumpah setia terhadap negara yang mengangkatnya, dan oleh karenanya bukan merupakan subyek dari hukum dan jurisdiksi setempat. Sehubungan dengan itu maka setiap penghinaan atau perbuatan menyakiti para wakil diplomatik, sama dengan menghina kehormatan dari negara yang diwakili, dan menjadi kewajiban negara penerima untuk memberikan perlakuan yang pantas sebagai utusan.
  1. c.         Teori Functional Necessity
Teori ini mendasarkan pemberian kekebalan dan keistimewaan kepada wakil-wakil diplomatik sesuai dengan fungsi dari wakil-wakil diplomatik supaya wakil diplomatik yang bersangkutan dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan sempurna. Dengan demikian maka kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki itu merupakan pemberian kesempatan seluas-luasnya agar dalam melakasanakan tugas tidak ada gangguan.
Teori ini menjadi prinsip yang paling banyak dianut bagi kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik karena teori ini yang paling memuaskan. Teori Functional Necessity membenarkan bahwa kekebalan dan keistimewan diplomatik merupakan keperluan agar perwakilan diplomatik dapat menunaikan tugas-tugasnya secara efektif dan efisien.
Dengan adanya berbagai teori seperti di atas, Komisi Hukum Internasional kemudian membatasi diri untuk memasukkan tanggapan-tanggapan terhadap rancangan pasal-pasal mengenai kekebalan dan keistimewaan tanpa mengikatkan diri pada satu teori saja. Pandangan Komisi Hukum Internasional dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Di antara teori-teori yang telah dikemukakan dalam memberikan pertimbangan bagi pengembangan kekebalan dan keistimewaan diplomatik, Komisi Hukum Internasional akan menyinggung teori exterritoriality sesuai dengan anggapan bahwa gedung perwakilan diplomatik merupakan semacam perluasan dari wilayah negara pengirim, dan teori representative character yang melandasi kekebalan dan keistimewaan diartikan bahwa perwakilan diplomatik melambangkan negara pengirim.
  2. Kini terdapat teori ketiga yang muncul sebagai landasan dan cenderung mendapat dukungan di dalam masa sekarang yaitu teori functional necessity yang membenarkan bahwa kekebalan dan keistimewaan merupakan keperluan agar perwakilan diplomatik dapat melaksanakan tugas-tugasnya.
  3. Komisi Hukum Internasional telah menganut teori ketiga ini di dalam menyelesaikan masalah-masalah di dalam praktik tidak dapat memberikan keterangan secara jelas, di samping memperhatikan juga sifat perwakilan dari kepala perwakilan diplomatik dan dari perwakilannya sendiri.
Teori Exterritoriality yang memberikan makna seakan-akan gedung perwakilan diplomatik berada di luar negara penerima dan mencerminkan semacam perluasan wilayahnya di negara penerima. Di dalam praktek pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik seperti teori diatas sangat berat untuk dapat diterima. Menurut The Committe of the progressive codification of International Law, Teori Exterritoriality tidak memberikan suatu dasar yang memuaskan untuk hasil-hasil yang praktis. Dan satu-satunya dasar yang kuat dalam hubungan ini ialah kebutuhan untuk mempertahankan kemuliaan dari pada wakil-wakil diplomatik serta negaranya dan untuk mendapatkan kehormatan yang sepatutnya.
Hak untuk memberikan kekebalan dan keistimewaan kepada perwakilan diplomatik agar mereka dapat melakukan fungsinya dengan baik telah dianut dan diakui di dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik yaitu dalam pasal 27. di dalam pasal 27 ayat (2) dijelaskan korespondensi kedinasan dari missi diplomatik adalah kebal, dengan uraian di atas dapat dikatakan bahwa Konvensi Wina 1961 menganut teoriFunctional Necessity.
Di dalam pembukaan/preambul Konvensi Wina 1961 pada alinea keempat disebutkan bahwa tujuan dari diberikannya hak kekebalan dan keistimewaan tidak dimaksudkan untuk kuntungan individu melainkan untuk menjamin pelaksanaan fungsi-fungsi diplomatik secara efisien dalam rangka mewakili negara pengirim. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Konvesi Wina 1961 telah menganut dua teori diatas yaitu teori Representative Character dan teori Functional Necessity. Sekalipun demikian dalam pasal 22 dan pasal 33 Konvensi Wina 1961 dinyatakan bahwa tempat kediaman dan gedung perwakilan diplomatik mempunyai hak kekebalan, hal ini sesuai dengan teori exterritoriality walaupun tidak sedalam arti yang semula.
Oppenheim memberikan suatu pernyataan bahwa seorang wakil diplomatik merupakan wakil dari negara, ia harus diberikan hak kekebalan dan keistimewaan agar perwakilan diplomatik tersebut dapat menjalankan fungsinya secara baik. Dari pernyataan diatas Oppenheim terlihat menganut teori Representative Character dan teori Fungsional Necessity di dalam memberikan alasan mengapa kepada seorang wakil diplomatik diberikan hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Sifat dari teori Representative Character ialah bahwa bahwa seorang diplomat dianggap sebagai perwakilan negara atau wakil kepala negara, sedangkan teori Fungsional Necessity menyatakan bahwa setiap perwakilan diplomatik harus mendapatkan hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik, yang tujuannya adalah untuk melindungi fungsi dan missi-missi dari perwakilan diplomatik.

3.1.1    Tidak Dapat Diganggu Gugatnya Gedung Perwakilan Diplomatik
Dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, telah dicantumkan mengenai pengakuan secara universal tentang kekebalan terhadap Gedung perwakilan diplomatik. Secara jelas terdapat di dalam pasal 22 Konvensi Wina 1961, disebutkan sebagai berikut :
  1. Gedung perwakilan tidak dapat diganggu gugat (inviolable). Alat-alat negara dari negara penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung perwakilan, kecuali dengan izin dari kepala perwakilan ;
  2. Negara penerima mempunyai kewajiban khusus untuk mengambil langkah-langkah seperlunya guna melindungi gedung perwakilan tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan diplomatik atau yang menurunkan harkat dan martabatnya.
  3. Gedung-gedung perwakilan, perabotannya dan harta milik lainnya yang berada dalam di dalam gedung tersebut serta kendaraan dari perwakilan akan dibebaskan dari pemeriksaan, penuntutan, pengikatan, atau penyitaan.
Teori exterritoriality menganggap bahwa gedung perwakilan diplomatik merupakan wilayah yang dianggap berada di luar wilayah negara penerima sehingga yang berlaku adalah hukum dari negara pengirim, dengan demikian gedung perwakilan tidak dapat diganggu gugat (inviolable) karena merupakan bagian dari pada daerah territorial negara pengirim. Teori diatas kini telah ditafsirkan secara berlainan dari pengertian yang dahulu. Melalui ketentuan pasal 22 tersebut, hak kekebalan dan keistimewaan terhadap gedung perwakilan diplomatik secara tegas diatur oleh Konvensi Wina 1961, namun hak kekebalan disini diartikan sebagai suatu hak dari gedung perwakilan diplomatik untuk mendapatkan perlindungan istimewa dari negara penerima, sehingga gedung perwakilan diplomatik tidak dapat diganggu gugat (inviolable).
Dalam pengertian “inviolable” itu adalah bahwa kantor perwakilan asing tidak dapat dimasuki oleh siapa pun baik badan-badan atau alat-alat kekuasaan negara penerima, kecuali dengan persetujuan kepala perwakilan. Kepada negara penerima dibebankan suatu kewajiban khusus untuk mengambil tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dianggap perlu untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik atas setiap perbuatan pengerusakan dan melindungi dari perbuatan pengacau terhadap ketentraman dari pada perwakilan asing atau perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kehormatan suatu negara pengirim. Begitu pula gedung perwakilan diplomatik beserta segala perabotannya dan harta benda yang berada di dalam gedung perwakilan diplomatik adalah kebal terhadap pemeriksaan atau pengeledahan, penyitaan, dan eksekusi.
Pembatasan dari hak kekebalan diplomatik terhadap kantor perwakilan asing ini, ditetapkan dalam pasal 41 ayat (3) Konvensi Wina 1961 bahwa kantor perwakilan tidak boleh digunakan untuk tindakan-tindakan yang bertentangan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi perwakilan sebagaimana ditetapkan di dalam konvensi. Atas dasar ini negara pengirim tidak boleh menggunakan gedung-gedung perwakilannya sebagai tempat untuk menyekap seseorang yang berwarga negara pengirim atau menculik orang yang sedang berada di wilayah negara penerima dan menahannya di dalam gedung perwakilan dengan maksud secara paksa memulangkan orang tersebut ke negara asalnya. Kantor perwakilan asing tidak boleh digunakan sebagai tempat untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan kriminal, dan tidak dibenarkan seorang wakil diplomatik memberikan perlindungan pada penjahat kriminal di dalam kantor perwakilan.

Pasal 41 ayat (1) menegaskan kewajiban bagi seorang wakil diplomatik sebagai penyeimbang atas kekebalan dan keistimewaan yang diterimanya, untuk menghormati dan memperhatikan undang-undang dan peraturan-peraturan negara penerima, maka apabila salah seorang yang diinginkan oleh penguasa negara penerima karena telah melakukan tindakan kriminal dan berlindung di dalam kantor perwakilan asing, maka penjabat diplomatik harus mengizinkan polisi atau badan-badan yang berwenang untuk menangkap penjahat tersebut. Perlu dicatat bahwa hanya dengan izin kepala perwakilan seorang polisi atau pejabat setempat dapat menangkap seorang penjahat yang melarikan diri ke dalam kantor perwakilan asing.
Sebaliknya apabila seorang wakil diplomatik atau kepala perwakilan asing menyembunyikan seorang penjahat kriminal di dalam kantor perwakilan, maka pemerintah negara setempat dibenarkan mengambil tindakan-tindakan untuk memaksa penyerahan penjahat tersebut dengan memasuki kantor perwakilan diplomatik untuk menangkap penjahat tersebut dan dipaksa keluar dari kantor perwakilan diplomatik. Tindakan-tindakan kekerasan tersebut dapat dibenarkan hanya dalam keadaan yang mendesak setelah kepala perwakilan atau pejabat diplomatik tersebut menolak untuk menyerahkan penjahat tersebut. Dalam article 20 Asian African Legal Consultive Committee, report Immunities, third Session reportdinyatakan apabila kejahatan dilakukan di dalam kantor perwakilan atau tempat kediaman wakil diplomatik, maka penjahat tersebut harus diserahkan pada badan-badan pemerintah setempat. Sementara dalam Pan America Convention on Diplomatic officer, yang diselenggarakan di Havana pada tanggal 20 Februari 1928 pada pasal 17 dinyatakan bahwa pejabat diplomatik diwajibkan untuk menyerahkan  kepada pejabat setempat yang berwenang atas orang-orang yang dipersalahkan atau di hukum atas kejahatan kriminal yang dilakukan di dalam gedung perwakilan diplomatik.

3.1.2                Perlindungan di Luar Lingkungan Gedung Perwakilan Asing
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 22 Konvensi Wina 1961, negara penerima bukan saja mempunyai kewajiban untuk melindungi gedung perwakilan asing tetapi juga keadaan di lingkungan yang berada di luar gedung. Karena itu, dalam kaitan dengan keadaan di lingkungan sekitar gedung perwakilan asing tersebut pemerintah negara penerima harus mengambil langkah-langkah seperlunya guna mencegah adanya gangguan atau kerusuhan termasuk gangguan terhadap ketenangan perwakilan, atau yang dapat menurunkan harkat dan martabat perwakilan asing di suatu negara. Namun demikian, perwakilan-perwakilan asing tidak dapat mengharapkan penjagaan keamanan secara permanen dari negara penerima. Dapatlah dibayangkan berapa jumlah penjaga keamanan yang diperlukan oleh negara penerima untuk ditempatkan di depan perwakilan-perwakilan asing dengan dua atau tiga kali penukaran setiap hari untuk perwakilan negara. Sebaliknya, apabila sudah dapat diduga adanya gangguan atau unjuk rasa yang bersifat bermusuhan atau jika kepala perwakilan negara asing memberitahukan mengenai akan timbulnya gangguan atau kekacauan lainnya, negara penerima dapat menyediakan penjaga keamanan (polisi) secara proporsional dengan mempertimbangkan tingkat gangguan tersebut. Seperti halnya yang dilakukan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta tatkala diperkirakan akan timbul kerusuhan pada tanggal 10 Maret 2006 yaitu bertepatan dengan kehadiran/kedatangan Presiden Amerika Serikat George W. Bush ke Indonesia. Duta Besar Amerika Serikat telah meminta penjagaan khusus dari Kementerian Luar Negeri dan ternyata memang benar telah terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa seluruh Indonesia yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia.

3.1.3        Batas-batas Penerapan dan Penafsiran Pasal 22 Ayat (1) Konvensi Wina 1961
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pasal 22 ayat (1) Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik menegaskan bahwa gedung perwakilan diplomatik asing tidak dapat diganggu gugat, bahkan para petugas maupun alat negara penerima tidak dapat memasukinya tanpa izin kepala perwakilan. Namun apabila negara penerima mempunyai bukti-bukti atau dakwaan yang kuat bahwa fungsi perwakilan asing tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1961, pemerintah negara penerima dalam keadaan seperti itu dapat memasuki gedung perwakilan tersebut.
Mengenai hal-hal yang luar biasa, meskipun tidak dinyatakan dalam Konvensi Wina 1961 prinsip tidak diganggu-gugat itu menurut pendapat Komisi Hukum Internasional tidak menutup adanya kemungkinan bagi negara penerima untuk mengambil tindakan terhadap perwakilan asing di negara tersebut dalam rangka membela diri atau menghindari adanya tindak pidana.
Hal semacam itu pernah terjadi pada tahun 1973 dalam kasus Kedutaan Besar Irak di Islamabad. Kedutaan Besar Irak oleh aparat keamanan Pakistan diduga menyimpan peti kemas berisikan senjata yang jumlahnya cukup banyak. Pihak kementerian Luar Negeri Pakistan kemudian meminta kepada Duta Besar Irak untuk mengizinkan polisi setempat memeriksa di dalam gedung Kedutaan Besar Irak tetapi permintaan tersebut ditolak, kemudian polisi setempat secara paksa memasuki gedung tersebut dan menemukan 59 peti yang berisikan sejata. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Pakistan dapat dibenarkan walaupun polisi setempat tidak mendapatkan izin untuk memasuki gedung tersebut tetapi apa yang dilakukan oleh Kedutaan Besar Irak telah menyalahgunakan hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
Dalam kasus mengenai gangguan terhadap Kedutaan Besar Amerika Serika di Teheran, Mahkamah Internasional secara jelas menyatakan kewajiban negara penerima untuk melindungi perwakilan asing. Kesimpulan yang dicapai oleh Mahkamah Internasional yaitu bahwa tindakan penyerangan terhadap Kedutaan Besar Amerika Serikat pada tanggal 4 November 1979, tidak dapat dianggap dengan sendirinya menyalahkan negeri Iran, namun tidak berarti bahwa Iran sebagai konsekuensinya bebas akan tanggung jawab atas  serangan-serangan tersebut karena tindakan penyerangan tersebut bertentangan dengan kewajiban-kewajiban internasional. Iran sebagai suatu negara penerima seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban itu sepenuhnya, untuk mengambil langkah-langkah guna menjamin perlindungan baik terhadap gedung perwakilan diplomatik, para staf, arsip-arsip, sarana-sarana komunikasi, tetapi juga kebebasan bergerak dari para anggota staf mereka seperti yang ditentukan dalam pasal 22 ayat (2), 24, 25, 26, 27, dan 29 Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik.
Keputusaan Mahkamah Internasional terhadap kasus penyerangaan terhadap Kedutaan Besar Amerika Serikat di Iran tersebut juga menegaskan negara penerima harus menjaga dan melindungi gedung perwakilan diplomatik dalam hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam pasal 22 Konvensi Wina 1961.


Dengan dilandasi ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, teori-teori dan putusan Mahkamah Internasional kita akan kaji kasus penyadapan terhadap gedung perwakilan diplomatik Republik Indonesia di Yangoon, Myanmar. Berdasarkan teori Functional Necessity diberikannya hak kekebalan dan keistimewaan kepada perwakilan diplomatik adalah untuk menjalankan tugas dan missi-missinya baik yang dilakukan di dalam gedung maupun di luar gedung perwakilan diplomatik. Hak kekebalan dan keistimewaan ini diberikan untuk memudahkan para wakil-wakil diplomatik di dalam menjalankan tugasnya. Jika hal tersebut tidak diberikan maka akan menghambat kinerja dari wakil-wakil diplomatik tersebut. Penyadapan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) bisa dianggap sebagai tindakan yang menghalangi kinerja wakil-wakil diplomatik dari negara pengirim di dalam menjalakan tugas maupun missi-missinya di negara penerima.
Dalam pasal 22 ayat (1) Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik diatur mengenai hak kekebalan dan keistimewaan terhadap gedung perwakilan diplomatik dimana tidak boleh diganggu gugatnya gedung-gedung perwakilan asing, disamping itu juga alat-alat negara dari negara penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung perwakilan diplomatik kecuali dengan izin dari kepala perwakilan. Di dalam pasal 22 ayat (2) disebutkan negara penerima mempunyai kewajiban untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik dari setiap gangguan maupun kerusakan yang dapat menurunkan harkat dan martabat, jadi pasal 22 ayat (2) dapat diartikan menyangkut kekebalan di lingkungan gedung perwakilan diplomatik itu sendiri. Karena itu perlindungan yang diberikan oleh negara penerima bukan saja dilakukan di dalam gedung perwakilan (interna rationae) tetapi juga di luar ataupun lingkungan sekitarnya (externa rationae).
Jika dikaitkan dengan kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangoon, Myanmar, dapat dikatakan bahwa pemerintah Myanmar telah melanggar ketentuan pasal 22 Konvensi Wina 1961 sebab mendapatkan informasi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia dengan cara menyadap adalah merupakan suatu tindakan yang illegal dan tidak diperbolehkan di dalam hubungan diplomatik, dan merupakan pelanggraan kewajiban negara penerima untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik dari setiap gangguan dan ancaman yang dapat menghambat kinerja para wakil diplomatik.
Merujuk pada kasus di Kedutaan besar Amerika Serikat di Teheran dan Konsulat Amerika Serikat di Tabriz dan Shiraz, Iran dimana Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Iran yang disebut sebagai negara penerima telah melanggar ketentuan dalam pasal 25 konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, negara penerima harus memberikan kemudahan yang penuh untuk pelaksanaan fungsi-fungsi dan missi-missi dari perwakilan diplomatik. Dari keputusan diatas dapat digunakan untuk mencari dasar hukum kasus penyadapan gedung perwakilan diplomatik Republik Indonesia, karena pemerintah Myanmar sebagai negara penerima tidak mampu memberikan kemudahan-kemudahan kepada para wakil-wakil diplomatik dari negara pengirim di dalam menjalankan tugas-tugasnya dan pemerintah Myanmar telah mengganggu kinerja dari wakil-wakil diplomatik yang bekerja di dalam gedung perwakilan diplomatik tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa penyadapan yang dilakukan oleh pemerintah Myanamr telah melanggar kebiasaan hukum internasional yaitu adanya kewajiban bagi negara-negara untuk memberikan perlindungan kepada perwakilan diplomatik dalam batas-batas tertentu agar perwakilan diplomatik tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik bagaimana yang dirumuskan teori Functional Necessity dan ketentuan dalam pasal 22 dan 25 Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik. Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Myanmar sebagai negara penerima merupakan suatu kelalaian dan kesalahan yang dapat menimbulkan adanya tanggung jawab negara.

3.2        Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Terhadap Hukum Diplomatik
3.2.1        Pengertian Tanggung Jawab Negara
Dalam membahas masalah tanggung jawab negara (state responsibility) maka akan terkait dengan masalah kedaulatan negara (state sovereignty), kewenangan untuk menerapkan hukum atau kewenangan untuk mengadili dengan menggunakan hukum nasionalnya (state jurisdiction) serta pengertian negara itu sendiri.
Tanggung jawab negara mengandung pengertian bahwa adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum karena kesalahan atau kelalaiannya sehingga menimbulkan pelanggaran kewajiban internasional. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain, menyebabkan negara tersebut wajib memperbaiki pelanggaran hak itu. Dengan kata lain, negara yang melanggar kewajiban internasional tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Komisi Hukum Internasional berusaha untuk membuat rumusan rancangan pasal-pasal mengenai tanggung jawab negara (Draft Articles on State Responsibility). Dimana pasal 1 menerangkan bahwa setiap tindakan suatu negara yang tidak sah secara internasional melahirkan tanggung jawab. Sementara dalam pasal 3 Rancangan pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara dinyatakan bahwa suatu perbuatan yang tidak sah secara internasional timbul jika :
  1. Perbuatan tersebut terdiri dari suatu tindakan atau kelalaian suatu negara menurut hukum internasional ; dan
  2. Perbuatan tersebut merupakan suatu pelanggaran kewajiban internasional.
Walaupun rancangan pasal-pasal mengenai tanggung jawab negara tersebut belum dapat dikatakan sebagai sumber hukum, tetapi dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan dari prinsip-prinsip dasar yang ada.
M. N. Shaw mengemukakan bahwa yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab (negara) ini bergantung kepada faktor-faktor dasar sebagai berikut : Pertama, adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu; kedua, adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara ; dan ketiga, adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.
Semua negara bertanggung jawab sama di bawah hukum internasional atas tindakan ilegal mereka. Suatu negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai dasar menghindari suatu kewajiban internasional. Antara hukum internasional dan hukum nasional terdapat perbedaan khusus yang terkait dengan dua hal, yaitu :
  1. Pelanggaran kewajiban atau tidak dilaksanakannya beberapa kaidah tindakan oleh suatu negara dapat menimbulkan tanggung jawab. Pelanggaran atau kelalaian harus merupakan suatu pelanggaran atau kelalaian yang memenuhi beberapa kaidah hukum internasional. Seperti yang dikemukakan oleh Komisi Hukum Internasional, adanya fakta bahwa suatu tindakan yang dapat dikarakterisasikan sebagai kesalahan yang sifatnya internasional tidak dapat dipengaruhi oleh karakterisasi yang sama sebagai tindakan yang sama menurut hukum nasional.
  2. Kewenangan atau kompetensi badan negara yang melakukan kesalahan.
Pada umumnya tidak terbuka kesempatan bagi suatu negara untuk membela diri dari klaim yang menyatakan bahwa badan negara tertentu yang benar-benar melakukan tindakan kesalahan tersebut telah melebihi lingkup kewenangannya menurut hukum nasionalnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian tanggung jawab negara dalam hukum internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menggormati hak-hak negara lain (Huala Adolf:196:176). Sedangkan menurut J. G. Starke, kaidah-kaidah hukum internasional mengenai tanggung jawab negara menyangkut keadaan-keadaan dimana, dan prinsip-prinsip dengan mana, negara yang dirugikan menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya (J.G.Starke:1997:319).

3.2.2        Tanggung Jawab Negara dan Teori Kesalahan
Dikatakan bahwa suatu negara tidak bertanggung jawab kepada negara lain atas tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh agen-agennya kecuali tindakan-tindakan tersebut dilakukan secara sengaja dan bertujuan buruk atau dengan kelalaian yang pantas di cela.
Fault dapat diartikan sebagai suatu kesalahan dimana suatu perbuatan dikatakan mengandung unsur fault apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja untuk beritikad buruk atau dengan kata lain yang tidak dapat dibenarkan. Teori dan praktek hukum internasional dewasa ini tidak mensyaratkan adanya fault atau perbuatan aparatur negara yang bertentangan dengan hukum internasional dan dapat menimbulkan pertanggungjawaban negara. Dalam hal ini negara bertanggung jawab tanpa adanya keharusan pihak yang menuntut tanggung jawab itu untuk membuktikan adanya suatu kesalahan pada negara tersebut.
Dalam kasus penyadapan yang terjadi pada kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangoon, Myanmar dengan adanya kejadian tersebut telah menghambat kinerja para diplomat dan mengganggu kegiatan-kegiatan yang dilakukan didalam gedung perwakilan diplomatik.
Penyadapan yang telah dilakukan untuk mendapatkan informasi secara illegal oleh pemerintah Myanmar dengan cara melakukan penyadapan terhadap kantor Duta Besar Republik Indonesia jelas merupakan suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan di dalam hukum internasional. Penyadapan tersebut melanggar Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, sebab konvensi tersebut menegaskan bahwa kedutaan asing tidak boleh diganggu-gugat, sehingga jelas bahwa konvensi tersebut melarang segala tindakan yang mengganggu kedutaan asing karena merupakan pelanggaran kerahasiaan. Dengan adanya penemuan oleh tim gabungan keamanan Republik Indonesia yang telah melakukan penyidikan pada bulan Juni 2004, terbukti bahwa pemerintah Myanmar tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai negara penerima karena tidak dapat memberikan suatu perlindungan dan kenyamanan terhadap perwakilan diplomatik di dalam menjalankan fungsi-fungsi dan misi-misi diplomatik serta tidak dapat melindungi gedung perwakilan diplomatik.
Dengan kejadian ini melahirkan suatu pertanggung jawaban sesuai dengan ketentuan pasal 3 rancangan pasal-pasal tentang tanggung jawab negara yang ditetapkan oleh Komisi Hukum Internasional, ini berarti bahwa pemerintah Myanmar sebagai negara penerima tidak mampu memberikan suatu rasa aman didalam melakukan suatu kegiatan baik itu di dalam gedung maupun di luar gedung perwakilan diplomatik dan ini membuat bangsa Indonesia merasa tidak dihormati sebagai negara yang berdaulat. Kasus serupa pernah terjadi pada tahun 2003 dan pemerintah Myanmar tidak pernah bercermin dari kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan. Suatu negara penerima tidak dapat dibenarkan untuk melakukan suatu penyadapan atau hal-hal lainnya yang dapat mengganggu kegiatan perwakilan diplomatik terlebih lagi pada gedung perwakilan diplomatik karena gedung perwakilan diplomatik tidak dapat di ganggung gugat (inviolable). Ini merupakan suatu kesalahan yang sama sekali tidak boleh dilakukan.

3.2.3        Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Terhadap Hukum Diplomatik
Di dalam perkembangannya tindak kejahatan khususnya terhadap para diplomat merupakan tindakan yang sangat membahayakan fungsi-fungsi mereka dalam melakukan tugas sehari-hari sebagai diplomat. Dalam menghadapi perkembangan yang membahayakan tersebut pada tahun 1980, PBB telah mengadakan pembahasan masalah tersebut secara intensif dan akhirnya dikeluarkannya resolusi Majelis Umum PBB dimana resolusi tersebut berisikan mendesak kepada seluruh anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakan prinsip-prinsip dan aturan hukum internasional yang mengatur tentang hubungan diplomatik. Disamping itu, Majelis Umum PBB juga mendesak kepada semua negara anggota khususnya untuk mengambil langkah-langkah seperlunya agar dapat menjamin secara efektif perlindungan, pengamanan dan keselamatan para pejabat diplomatik termasuk perwakilannya masing-masing di wilayah jurisdiksi mereka sesuai dengan kewajiban-kewajiban internasional, termasuk langkah-langkah yang praktis untuk melarang orang-orang atau kelompok serta organisasi untuk mengadakan tindakan yang terlarang itu seperti tindakan-tindakan yang merugikan pengamanan atau keselamatan para pejabat diplomatik termasuk perwakilan-perwakilannya.
Yang menjadi latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah tidak ada negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak-hak negara lain wajib untuk memperbaiki sekaligus mempertanggungjawabkan pelanggaran hak tersebut. Jika merujuk pada pasal 1 ketentuan-ketentuan  tentang tanggung jawab negara, yang kini telah menjadi hukum kebiasaan internasional dapat dikatakan bahwa tindakan pemerintah Myanmar merupakan sebagai kesalahan secara internasional yang melahirkan pertanggung jawababan negara. Sebagai akibat dari tindakan tersebut pemerintah Indonesia mengalami kerugian berupa tersebarnya informasi-informasi yang sifatnya rahasia sehingga hal ini mengganggu pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik. Adanya kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pemerintah Indonesia ini pemerintah Myanmar atas tindakannya itu harus bertanggung jawab.
Terulangnya kasus penyadapan terhadap kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangoon untuk kedua kalinya semakin memperkuat tuntutan agar pemerintah Myanmar dapat bertanggung jawab kepada pemerintah Indonesia sebagai negara pengirim walaupun hal ini sebenarnya tidak diatur secara tegas di dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik. Artinya sekalipun sumber hukum internasional terutama Konvensi Wina 1961 tidak mengatur mengenai bentuk-bentuk sanksi yang dikenakan manakala negara penerima melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 22 dan pasal 25 Konvensi Wina 1961, karena dimana negara penerima tidak memberikan perlindungan yang layak atas hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik dan negara penerima tidak memberikan kemudahan-kemudahan kepada para diplomat di dalam menjalankan fungsi-fungsi dan misi-misinya. Namun bukan berarti bahwa negara pengirim tidak dapat menuntut pertanggung jawaban tersebut. Maka dari itu perlu secara bersama-sama mencari solusi dan cara penyelesaian kasus tersebut tanpa mengganggu stabilitas dari masing-masing negara.

3.3              Upaya Penyelesaian Sengketa Atas Penyadapan Kantor KBRI Di Yangon Myanmar
3.3.1    Pengertian Sengketa Internasional
Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antarnegara, negara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin dengan baik. Acap kali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antarnegara dapat berupa pelanggaran-pelanggaran terhadap suatu perjanjian internsional. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.
Upaya-upaya penyelesaian terhadap sengketa yang terjadi telah menjadi perhatian yang cukup penting di dalam masyarakat internasional sejak awal abad ke-20. Upaya-upaya ini ditujukan untuk menciptakan hubungan antarnegara yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.
Terjadinya pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah disepakati secara bersama-sama dalam hubungan diplomatik pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip dalam Konvensi Wina 1961 dapat berpotensi memicu terjadinya konflik (disputes), dan dapat menghambat kinerja wakil-wakil diplomatik dan akan memperburuk keadaan yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik yang berkelanjutan. Oleh karena itu potensi konflik tersebut harus sedini mungkin diselesaikan melalui sarana-sarana penyelesaian sengketa yang ada.
            Dalam hukum internasional dikenal dua cara penyelesian sengketa internasional yaitu cara perang dan cara damai. Cara perang adalah sengketa antar negara yang diselesaikan dengan menggunakan cara kekerasan (use of force). Dalam piagam Perserikatan Bangsa Bangsa juga dinyatakan bahwa setiap anggota Perserikatan Bangsa Bangsa dalam hubungan internasional akan menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap keutuhan wilayahnya atau kemerdekaan politik suatu negara atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa Bangsa. Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan dipraktekkan sejak lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri untuk menguasai wilayah-wilayah tertentu. 
            Perang digunakan negara-negara untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman mereka mengenai aturan-aturan hukum internasional. Perang bahkan dijadikan sebagai salah satu wujud dari tindakan negara yang berdaulat. Dalam perkembangannya kemudian, dengan semakin berkembangnya kekuatan militer dan perkembangan teknologi persenjataan pemusnah massal, masyarakat internasional semakin menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang dan dewasa ini cara perang sudah tidak populer lagi. Mengingat zaman telah berubah dan hubungan antarbangsa telah berkembang menuju hubungan yang lebih mengedepankan penghargaan pada martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, perang yang ganas dan keji tidak lagi menjadi pilihan populer sebagai resolusi konflik antarbangsa.
Sebaliknya penyelesaian sengketa internasional secara damai kini merupakan titik sentral dari hukum internasional dan hubungan internasional. Seperti dinyatakan dalam pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa : seluruh anggota Perserikatan Bangsa Bangsa harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan jalan damai sehingga perdamaian tidak terancam. Prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal dan dimuat dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antar Negara tanggal 24 Oktober 1970 (A/RES/2625/XXV) serta Deklarasi Manila tanggal 15 November 1982 (A/RES/37/10) mengenai penyelesaian sengketa internasional secara damai, yaitu sebagai berikut : (Boer Mauna:2005:94).
  • Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang bersifat mengancam integritas territorial atau kebebasan politik suatu negara, atau menggunakan cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa Bangsa.
  • Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri suatu negara.
  • Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa.
  • Prinsip persamaan kedaulatan negara.
  • Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan dan integritas territorial suatu negara.
  • Prinsip itikad baik dalam hubungan internasional.
  • Prinsip keadilan dan hukum internasional.
Hukum internasional tidak berisi keharusan agar suatu negara memilih prosedur penyelesaian tertentu. Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa yang meminta kepada negara-negara untuk menyelesaikan secara damai sengketa-sengketa mereka sambil menyebutkan bermacam-macam prosedur yang dapat dipilih oleh negara-negara yang bersengketa. Penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan secara politis maupun secara yuridis.
Menurut kelompok studi Waldock penentuan suatu sengketa sebagai suatu sengketa hukum atau politik bergantung sepenuhnya kepada para pihak yang bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika sengketa tersebut menurut para pihak membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional maka sengketa tersebut adalah sengketa politik.
Jadi pada prinsipnya semua cara penyelesaian sengketa internasional yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa menetapkan bahwa anggota Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa harus menyelesaikan sengketa internasional dengan jalan damai melalui penyelesaian sengketa secara politik dan penyelesaian sengketa secara hukum. Sementara dalam tataran kerjasama ASEAN bila terjadi suatu sengketa, hanya dikenal penyelesaian sengketa secara poliis dimana penyelesaian sengketa tersebut dilakukan dalam kerangka kerjasama ASEAN sehingga perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan tidak terancam.

3.3.2                Penyelesaian Sengketa Secara Politik 
Sengketa politik adalah sengketa dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridik dan proses penyelesaian sengketa dilakukan melalui praktek diplomasi dengan menggunakan metode negosiasi (perundingan). Di dalam pasal 33 ayat (1) Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa menyatakan sebagai berikut :
“Pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu sengketa yang terus menerus yang mungkin membahayakan terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian melalui negosiasi, penyelidikan, dengan peraturan, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum, melalui badan-badan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang dipilih sendiri”
Banyaknya cara penyelesaian sengketa dengan cara damai tersebut tidak ditentukan berurutan berdasarkan prioritas, tapi yang disebut pertama adalah negosiasi. Pengutamaan negosiasi adalah karena ia merupakan sarana utama untuk mengendalikan sengketa yang mengancam pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia serta sengketa-sengketa lainnya (J.G.Merrills:1986:1).
Negosiasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam menyelesaikan sengketa internasional, negosiasi merupakan sarana yang memungkinkan untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan, negosiasi juga merupakan cara untuk mencegah timbulnya perbedaan-perbedaan tersebut, sebab mencegah selalu lebih baik daripada menyembuhkan. Alasan utama di dalam menggunakan cara negosiasi adalah para pihak yang bersengketa dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan atau konsensi dari para pihak.     Negosiasi (perundingan) biasanya diadakan dalam bentuk pembicaraan-pembicaraan langsung antara negara-negara yang bersengketa bertujuan untuk mencari jalan penyelesaian sengketa tanpa melibatkan pihak ke tiga. Negosiasi adalah suatu cara penyelesian sengketa yang paling dasar yang digunakan di dalam menyelesaikan sengketa antarnegara. Sampai abad ke-20 cara perundingan adalah satu-satunya yang dipakai untuk menyelesaikan suatu sengketa. Adapun kelebihan atau segi positif dari negosiasi ini adalah sebagai berikut :
  1. Para pihak sendiri yang melakukan perundingan (negosiasi) secara langsung dengan pihak lainnya ;
  2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana penyelesaian secara negosiasi ini dilakukan menurut kesepakatan mereka ;
  3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya ;
  4. Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik di dalam negeri ;
  5. Dalam negosiasi, para pihak berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang dan kalah tetapi diupayakan kedua belah pihak menang ;
  6. Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan untuk setiap tahap penyelesaian sengketa dalam setiap bentuk, apakah negosiasi tertulis, lisan, bilateral, multilateral dan lain-lain.
Meskipun proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini dinilai positif namun ada kelemahan-kelemahan atau segi negatifnya. Kelemahan-kelemahan utama negosiasi pertama, manakala kedudukan para pihak tidak seimbang karena salah satu pihak kuat sedangkan pihak yang lain lemah. Dalam keadaan ini, pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya hal ini acap kali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Kedua, bahwa proses berlangsungnya negosiasi acap kali lambat dan memakan waktu lama, hal ini terutama dikarenakan permasalahan antarnegara yang timbul, selain itu jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi. Ketiga, manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi menjadi tidak produktif.
Suatu negara tentu saja mengikatkan dirinya sendiri untuk berunding melalui perjanjian, atau menjadi pihak pada jenis sengketa dimana kewajiban seperti itu dikenakan oleh hukum kebiasaan internasional. Tapi sarana penyelesaian yang ada dalam pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa itu dicantumkan sebagai alternatif, jadi dengan demikian suatu negara (para pihak) yang sedang bersengketa dapat memilih cara lain selain negosiasi.
3.3.3    Penyelesaian Sengketa Secara Hukum
Penyelesaian sengketa internasional secara hukum adalah sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian dan yang telah diakui oleh hukum internasional. Cara ini ditempuh apabila, penyelesaian sengketa secara politik melalui cara negosiasi (perundingan) buntu/tidak menemukan titik temu diantara kedua belah pihak yang sedang bersengketa. Dengan persetujuan para pihak sengketa tersebut diselesaikan secara hukum. Penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara hukum akan menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat terhadap negara-negara yang bersengketa. Cara ini dapat ditempuh melalui Arbitrase atau melalui suatu Peradilan Internasional. Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga (badan arbitrase) yang netral dimana putusannya bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa. Badan Arbitrase adalah salah satu dari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang tersedia dan diakui oleh hukum internasional.
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu compromise, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (clause compromissoire). Pemilihan arbitrator sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak dan para arbitrator yang dipilih adalah mereka yang telah ahli hukum.
Setelah penunjukan arbitrator, selanjutnya arbitrator menetapkan terms of reference atau aturan permainan (hukum acara) yang menjadi patokan kerja para arbitrator. Dalam dokumen tersebut memuat pokok-pokok permasalahan yang akan diselesaikan, kewenangan yurisdiksi arbitrator dan aturan-aturan sidang arbitrase dan terms of reference atau aturan permainan (hukum acara) tersebut harus disepakati oleh para pihak.
Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki beberapa kelebihan (positif) adalah sebagai berikut :
  1. Para pihak memiliki kebebasan dalam memilih hakimnya (arbitrator) baik secara langsung maupun tidak langsung (dalam hal ini dengan bantuan pihak ke-3 misalnya pengadilan internasional) yang menunjuk arbitrator untuk salah satu atau kedua belah pihak. Hal ini penting, karena apabila suatu negara menyerahkan sengketanya kepada pihak ketiga (dalam hal ini arbitrase) maka negara tersebut harus mempercayakan sengketanya diputus oleh pihak ketiga tersebut, dan memiliki kredibilitas.
  2. Para  pihak memiliki kebebasan untuk menentukan hukum acara atau persyaratan bagaimana suatu putusan akan didasarkan misalnya dalam menentukan hukum acara dan hukum yang akan diterapkan pada pokok sengketa dan lain-lain.
  3. Sifat dari putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.
  4. Persidangan arbitrase dimungkinkan untuk dilaksanakan secara rahasia, apabila para pihak menginginkannya.
  5. Para pihak sendiri yang menentukan tujuan atau tugas badan arbitrase.
Di samping unsur-unsur positif, badan arbitrase internasional memiliki kekurangan sebagai berikut : pertama, pada umumnya negara masih enggan memberikan komitmennya untuk menyerahkan sengketanya kepada badan-badan pengadilan internasional, termasuk badan arbitrase internasional. Kedua, proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menjamin bahwa putusannya akan mengikat (dalam hukum internasional, suatu kesepakatan mengikat para pihak untuk melaksanakan isi kesepakatan tersebut berdasarkan prinsip iktikad baik). Hukum internasional tidak menjamin bahwa pihak yang kalah atau tidak puas dengan putusan yang dikeluarkan akan melaksanakan putusan tersebut.
Bentuk lain penyelesaian sengketa secara hukum atau judicial settlement  dalam hukum internasional adalah penyelesaian melalui badan peradilan internasional (world court atau international court) yang dapat ditempuh melalui Mahkamah Internasional. Para pihak membawa sengketanya ke dapan Mahkamah Internasional dikarenakan cara-cara penyelesaian sengketa secara damai telah gagal. Membawa sengketa ke muka Peradilan Internasional harus ada persetujuan antara kedua belah pihak bahwa sengketa tersebut akan diselesaikan oleh peradilan internasional tersebut.
Salah satu institusi peradilan hukum internasional adalah Mahkamah Internasional hanya menerima negara sebagai pihak yang dapat beracara di dalamnya. Pasal 34 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menyatakan sebagai berikut :
“hanya negara-negara yang boleh menjadi pihak dalam perkara-perkara di muka Mahkamah Internasional”
Dari ketentuan pasal diatas dinyatakan bahwa hanya negara yang boleh bersidang di depan Mahkamah Internasional, dan dapat dikatakan bahwa bukan saja individu-individu tetapi juga organisasi-organisasi internasional pun tidak dapat menjadi dari suatu sengketa di muka Mahkamah Internasional. Pada prinsipnya Mahkamah Internasional hanya terbuka bagi negara-negara anggota dari statuta. Special Agreement atau perjanjian khusus tentang penundukan kepada jurisdiksi Mahkamah Internasional, harus terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara. Penundukan ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara atau state sovereignty. Proses beracara di Mahkamah Internasional hanya dapat dilakukan dengan adanya consent dari para pihak yang akan beracara. consent ini didasarkan atas asas konsensualisme atau free will dari negara yang terkait.
Dari syarat ini dapatlah dilihat bahwa Mahkamah Internasional menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara untuk tunduk atas dasar free will. Lebih jauh lagi, pengakuan Mahkamah Internasional akan kedaulatan negara ini juga dapat dilihat dari kekuatan mengikat dari keputusan Mahkamah Internasional. Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa.
Adapaun perbedaan utama antara badan arbitrase internasional dengan pengadilan internasional adalah pertama, arbitrase memberikan para pihak kebebasan untuk memilih atau menentukan badan arbitrasenya. Sebaliknya dalam hal pengadilan internasional, komposisi pengadilan berada di luar pengawasan atau kontrol para pihak. Kedua, arbitrase memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih hukum yang akan diterapkan oleh badan arbitrase, kebebasan seperti ini tidak ada dalam pengadilan internasional pada umumnya.
Berperkara di muka Mahkamah Internasional murni dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yuridis, sama sekali terbebas dari pertimbangan politis. Dalam situasi yang demikian keputusan hakim hanya didasarkan pada aspek yuridis. Statuta Mahkamah Internasional menegaskan, hakim Mahkamah harus memutuskan berdasarkan konvensi-konvensi, kebiasaan-kebiasan internasional, prinsip-prinsip hukum internasional, atau keputusan-keputusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli terkemuka sebagai penunjang keputusan, keputusan berdasarkan rasa keadilan hanya dapat diberikan jika kedua belah pihak menyetujuinya.
Dalam penyelesaian sengketa secara yuridis melalui Mahkamah Internasional akan memberi hasil putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat para pihak yang bersengketa. Dengan adanya keputusan berkekuatan hukum tetap tersebut akan dapat memaksa salah satu pihak yang bersalah untuk bertanggung jawab atas pelanggaran yang telah dilakukan.  Namun disisi lain, keputusan yang dihasilkan dalam Mahkamah Internasional adalah berdasarkan pemikiran dan keputusan hakim sehingga hasil yang dicapai belum tentu sesuai dengan keinginan para pihak. Kelemahan berperkara di Mahkamah Internasional  adanya win-lose solution, dimana keputusan yang dihasilkan akan memenangkan salah satu pihak dan akan menghukum pihak lain yang bersalah menurut hukum internasional. Hal ini akan membawa dampak yang negatif bagi perkembangan hubungan diplomatik ke dua negara. Disamping itu prosedur dan tata cara berperkara di Mahkamah Internasional memerlukan waktu yang lama sehingga tidak menutup kemungkinan kasus akan tetap mengambang sampai ada putusan hakim.

3.3.4    Penyelesaian Sengketa Dalam Kerjasama ASEAN
Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cukup strategis secara geopolitik dan geoekonomi. Hal ini disadari oleh negara-negara baik yang berada di dalam maupun di luar Asia Tenggara.  Sebelum ASEAN terbentuk pada tahun 1976, negara-negara Asia Tenggara telah melakukan berbagai upaya untuk menggalang kerjasama regional baik yang bersifat intra maupun ekstra kawasan. Sehubungan dengan hal tersebut, negara-negara Asia Tenggara menyadari perlunya dibentuk kerjasama untuk meningkatkan taraf hidup mereka dan sekaligus meredakan rasa saling curiga, serta mendorong pengembangan kerjasama. Perkembangan geopolitik Asia Tenggara sesudah tahun 1965 sangat mempengaruhi usaha-usaha untuk mencari pemecahan bersama atas berbagai masalah yang dihadapi negara-negara di kawasan ini. Dampak positif dari meredanya rasa saling curiga dan konflik di antara bangsa-bangsa di Asia Tenggara, telah mendorong pembentukan organisasi regional. Dalam pertemuan 8 Agustus 1967 di Bangkok, ditandatanganilah Deklarasi ASEAN atau deklarasi Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri Malaysia dan para Menteri Luar Negeri dari Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand yang menadatangani berdirinya ASEAN (Association of South East Asian Nations).
Deklarasi Bangkok 1967 secara eksplisit berlatar belakang aspirasi dan komitmen politik para pemimpin negara-negara pendiri ASEAN untuk bersatu dalam suatu wadah kerjasama. Alasan pembentukan ASEAN didasarkan atas kehendak politik, yaitu keinginan bersama untuk menciptakan stabilitas regional yang sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi nasional negara-negara kawasan.
Maksud dan tujuan dibentuknya ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok salah satunya adalah untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antara negara-negara di kawasan ini serta mematuhi prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.
Kerjasama ASEAN di bidang politik dan keamanan mulai ditonjolkan pada waktu pertemuan khusus para Menteri Luar Negeri ASEAN di Kuala Lumpur bulan November 1971 yang menerima Deklarasi Kuala Lumpur mengenai konsep Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (Zone of Peace, Freedom and Neutrality – ZOPFAN).
Pada KTT ASEAN I di Bali tahun 1976 para Kepala Pemerintahan telah menandatangani Traktat Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia – TAC). TAC adalah salah satu instrumen penting dalam upaya mewujudkan ZOPFAN dan menciptakan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara dan traktat tersebut  meletakkan landasan persahabatan dan kerjasama serta penyelesaian sengketa di kawasan secara damai berdasarkan prinsip-prinsip yang tercakup dalam perjanjian tersebut.
Treaty of Amity Cooperation (TAC) atau Traktat Kerjasama dan Persahabatan adalah norma kunci yang mengatur hubungan antar negara dan instrumen diplomatik dalam penyelesaian sengketa secara damai di kawasan ASEAN. Andaikata usaha perundingan yang dilakukan oleh negara-negara yang bersengketa tidak berhasil sesuai dengan TAC kedua negara dapat menyelesaikan sengketa melalui High Council ASEAN yang tertuang dalam pasal 14 yang terdiri dari pejabat-pejabat ASEAN tingkat menteri. Dalam penyelesaian melalui High Council harus merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang sedang bersengketa. Banyak anggota kawasan tidak membawa sengketa mereka ke High Council ini di karenakan yang duduk dalam High Council adalah para anggota kawasan ada indikasi para pejabat tersebut memihak salah satu negara yang sedang bersengketa.
Penyelesaian sengketa melalui mekanisme Treaty of Amity Cooperation dalam kerangka kerjasama ASEAN akan ditempuh berdasarkan tatacara regional yang disepakati bersama sesuai dengan cara-cara penyelesaian sengketa secara damai seperti yang tercantum dalam pasal 33 ayat (1) Perserikatan Bangsa Bangsa. Salah satu elemen penting TAC adalah ASEAN sepakat tidak mengunakan kekuatan (military force) sebagai cara dalam menyelesaikan konflik,
dengan kata lain ASEAN telah menggugurkan penggunaan kekuatan militer sebagai cara penyelesian sengketa. Mengingat zaman telah berubah dan hubungan antarabangsa telah berkembang dengan sangat pesat menuju hubungan yang lebih mengedepankan penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusian.
Tujuan dari TAC sebagaimana yang tercantum dalam bab I pasal 1 yang menyatakan bahwa “untuk mempromosikan perdamaian secara terus menerus, menjalin persahabatan serta kooperasi antar orang-orang mereka yang berperan untuk kekuatan mereka”. Jika negara-negara anggota ASEAN mengalami sengketa maka dapat menggunakan TAC sebagai solusinya, dengan melaksanakan TAC berarti negara-negara tersebut telah menghormati kerja sama ASEAN. Dalam hal memilih jalur penyelesaian sengketa yang mereka hadapi para pihaklah yang menentukan jalur penyelesaian bagaimana yang terbaik buat mereka. Dan di dalam menentukannya para pihak yang bersengketa harus perpedoman pada Perserikatan Bangsa Bangsa.

3.4.5    Penyelesaian Sengketa Atas Kasus Penyadapan KBRI di Yangon Myanmar
Kasus penyadapan terhadap Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangoon, Myanmar telah menimbulkan rasa kekecewaan luar biasa yang di rasakan oleh Bangsa Indonesia. Tindakan illegal yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar telah menyalahi tata krama dalam hubungan diplomatik sebagaimana dituangkan dalam Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa gedung perwakilan diplomatik kebal terhadap alat-alat negara penerima serta tidak dapat diganggu-gugat. Tindakan ini mengindikasikan bahwa rezim penguasa di Myanmar tidak menghargai dukungan politik dan diplomatik Republik Indonesia selama ini dalam menghadapi tekanan dunia barat baik dalam forum internasional melalui Perserikatan Bangsa Bangsa maupun dalam forum regional melalui ASEAN.
Dalam pasal 3 Undang-undang No 37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri dinyatakan bahwa politik luar negeri Bangsa Indonesia menganut prinsip bebas aktif yang berarti politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional serta secara aktif menyelesaikan konflik, sengketa, permasalahan demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal ini bersesuaian dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa pasal 2 ayat (3) yang menyatakan bahwa seluruh anggota Perserikatan Bangsa Bangsa harus menyelesaikan sengketa internasional dengan jalan damai sehingga perdamaian dan keamanan internasional tidak terancam. Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa juga menegaskan bahwa Perserikatan Bangsa Bangsa meminta kepada negara-negara wajib menyelesaikan secara damai sengketa yang dihadapi dan dapat memilih prosedur yang telah ditetapkan dalam pasal ini.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa garis kebijakan penyelesaian sengketa yang diambil oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa pasal 2 ayat (3) dan pasal 33 dimana lebih mengutamakan penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang ditujukan untuk menciptakan perdamaian di muka bumi yang telah dicita-citakan oleh setiap bangsa. Terlebih bukan zamannya lagi menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara kekerasan maupun peperangan mengingat hubungan antar bangsa telah berkembang dengan pesat dan lebih mengedepankan penghargaan terhadap kemanusian. Tentunya penyelesaian sengketa tersebut harus dilandaskan pada prinsip yang utama di dalam penyelesaian sengketa internasional, yaitu prinsip iktikad baik (good faith). Prinsip ini dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa antarnegara. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi.
Dalam kasus penyadapan terhadap KBRI di Yangon Myanmar langkah awal yang harus dilakukan oleh masing-masing negara yang bersengketa adalah adanya itikad baik untuk membicarakan dan menyelesaikan kasus tersebut tanpa menggunakan cara-cara kekerasan yang dapat mengancam perdamain kedua negara. Prinsip penting lainnya adalah prinsip di mana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana kasus penyadapan tersebut diselesaikan (principle of free choice of means). Prinsip ini tertuang dalam pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa yang menegaskan bahwa penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian sengketa atau cara-cara penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas para pihak.
Berpedoman pada ketentuan pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, Pemerintah Indonesia dalam cara penyelesaian sengketa internasional atas kasus penyadapan ini dapat menggunakan prosedur penyelesaian secara politik, daripada penyelesaian melalui arbitrase atau secara yuridis maupun penyelesaian sengketa dalam kerangka kerjasama ASEAN. Dengan membandingkan berbagai metode penyelesaian sengketa yang ada dan disesuaikan dengan karakteristik kasus yang berlatar belakang pelanggaran diplomatik ini, penyelesaian sengketa secara diplomasi (politik) merupakan pilihan terbaik karena hubungan diplomatik mempunyai banyak keterkaitan dengan aspek politik. Salah satu keterkaitan tersebut adalah adanya kebebasan berpendapat dari semua pihak yang ada dalam hubungan diplomatik maupun dalam aspek politik. Penyelesaian sengketa secara politik memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk dapat mengeluarkan pandangan-pandangannya mengenai sengketa yang terjadi dan dapat menyampaikan keinginan masing-masing pihak terhadap penyelesaian sengketa. Berdasarkan pada hal tersebut, maka akan dicapai suatu kesepakatan bersama yang melahirkan keputusan atas penyelesaian sengketa yang bersifat saling menguntungkan kedua negara sehingga terjadi keseimbangan antara kedua negara tersebut.
Tuntutan dalam penyelesaian sengketa secara politik tidak terlalu bersifat materiil karena yang diutamakan dalam penyelesaian sengketa secara politik adalah adanya upaya pemulihan hubungan diplomatik kedua negara. Hal tersebut tentu tidak dapat ditemui dalam penyelesaian sengketa secara yuridis (hukum) karnea penyelesaian secara yuridis, tuntutannya bersifat condemnatoir (menjatuhkan sanksi guna menghukum salah satu pihak). Tuntutan yang seperti itu akan menghasilkan pola penyelesaian lose-win (kalah-menang) yang pasti akan menimbulkan kerugian pada salah satu pihak dan dapat menurunkan hubungan diplomatik kedua negara. Oleh karena itulah penyelesaian sengketa secara politik dapat dikatakan merupakan pilhan terbaik, mengingat dari penyelesaian sengketa secara politik dapat tercapai kondisi yang harmonis dan dapat diterima secara baik oleh kedua negara.
            Langkah-langkah yang harus dilakukan Bangsa Indonesia di dalam melaksanakan proses negosiasi dengan Pemerintah Myanmar adalah dengan melakukankan persiapan negosiasi. Negosiasi antar negara dilakukan melalui saluran diplomatik yakni melalui Menteri Luar Negeri atau wakil-wakil diplomatik dan dapat pula membawa delegasi dari departemen pemerintah yang berkepentingan. Langkah konkrit yang harus dilakukan adalah Departemen Luar Negeri (Deplu) sesegera mungkin untuk memanggil Duta Besar Myanmar untuk Indonesia guna memberikan keterangan yang diperlukan sehubungan dengan kasus penyadapan tersebut, disamping itu juga Bangsa Indonesia harus mengirimkan nota diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Myanmar untuk mengklarifikasikan masalah tersebut dan menyatakan kekecewaan atas terjadinya penyadapan tersebut yang sempat menghambat kinerja dari para diplomat.
            Selanjutnya melalui tahap perundingan, Indonesia sebagai negara yang dirugikan atas terjadinya penyadapan harus menyampaikan harapan-harapan supaya Pemerintah Myanmar mengakui perbuatannya dan tidak mengulangi serta akan tetap mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik.
            Dalam bernegosiasi Indonesia dan Myanmar harus melakukan secara bersahabat, berkomunikasi secara terbuka, dan melakukan pertukaran informasi secara transparan demi mencapai kesepakatan yang memenuhi kepentingan kedua belah pihak. Apabila kedua belah pihak gagal di dalam menyelesaikan sengketa melalui jalur diplomatik, maka dapat ditempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara hukum dan membawanya ke Mahkamah Internasional. Namun untuk membawa sengketa ke depan Mahkamah Internasional perlu diperhitungkan terlebih dahulu keuntungan dan kerugiannya, terutama dilihat dari karakteristik sengketa yang berlatar belakang sengketa diplomatik. Keengganan membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional adalah merujuk pada tujuan akhir dari hukum internasional mengenai penyelesaian sengketa adalah penyelesaian secara damai dan hukum internasional tidak menghendaki penyelesaian secara kekerasan (militer).

            Bangsa Indonesia tidak perlu membawa kasus penyadapan tersebut ke dalam Kerjasama ASEAN karena untuk membentuk sebuah High Council yang terdiri dari wakil-wakil setingkat menteri dari negara-negara anggota tidaklah mudah, hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit sehingga pada akhirnya tidak efisien dan berdampak pada penyelesaian sengketa yang tidak efektif. Sementara itu mengingat hubungan bilateral antara Indonesia-Myanmar sehingga dalam kasus penyadapan ini pihak yang terkait hanyalah kedua negara tersebut bukan bersifat multilateral yang menyangkut negara-negara ASEAN dengan begitu guna efisiensi dan efektifitas penyelesaian sengketa akan lebih baik bila kedua negara tersebut yang menyelesaikanya. Jalur diplomasi yang dikedepankan tersebut didasari pula atas keinginan kedua negara dalam menyelesaikan sengketa, karena meski kepentingan nasional merupakan tujuan utama namun keberhasilan perundingan merupakan unsur penting dalam kerjasama bilateral.
  1. 4.        Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan di atas, dapat dirumuskan beberapa poin aplikatif yang nantinya dapat direkomendasikan sebagai simpulan dari penelitian ini, sebagai berikut :
  1. Kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki seorang wakil diplomatik didasarkan pada pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada wakil diplomatik dalam melakukan tugasnya dengan sempurna. Hal tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap perwakilan diplomatik beserta fasilitas-fasilitasnya termasuk di dalamnya gedung perwakilan diplomatik asing. Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik menegaskan bahwa status gedung perwakilan diplomatik tidak dapat diganggu gugat (inviolable) karena merupakan suatu kerahasiaan diplomatik sehingga pejabat-pejabat dari negara penerima tidak boleh memasukinya, kecuali dengan persetujuan kepala perwakilan.
  2. Tanggung jawab negara lahir apabila negara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum karena kesalahan atau kelalaiannya sehingga menimbulkan pelanggaran kewajiban hukum internasional. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap kekebalan dan keistimewaan wakil diplomatik, maka negara penerima dapat dikatakan tidak dapat memberikan perlindungan dan kenyaman terhadap para diplomatik dalam menjalankan fungsi dan missi-missinya. Negara penerima memperbaiki sekaligus mempertanggungjawabkan pelanggaran hak tersebut dan menjaga kehormatan dari negara pengirim wakil diplomatik sebagai negara yang berdaulat.
  3. Penyelesaian sengketa Internasional antara Indonesia dengan Myanmar dalam kasus penyadapan gedung diplomatik dapat ditempuh dalam berbagai cara diantaranya melalui prosedur penyelesaian secara politik, hukum (yuridis) maupun dalam kerangka kerjasama ASEAN. Namun menggunakan jalur diplomatik atau jalur negosiasi yang didasarkan pada itikad baik dari kedua negara yang merupakan langkah awal yang paling baik dalam penyelesaian sengketa. Bila kesepakatan gagal diambil dalam jalur diplomasi, maka dapat ditempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara hukum dan membawanya ke Mahkamah Internasional.