Sumber-sumber Hukum Internasional


Sumber-Sumber Hukum Internasional
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tidak ada badan legislatif internasional untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur secara langsung kehidupan masyarakat internasional. Satu-satunya organisasi internasional yang kira-kira melakukan fungsi legislatif adalah majelis umum PBB, tetapi resolusi-resolusi yang dikeluarkannya tidak menyangkut kehidupan organisasi internasional itu sendiri. Memang ada konferensi-konferensi internasional yang diselenggarakan dalam kerangka PBB untuk membahas masalah-masalah tertentu, tetapi tidak selalu merumuskan law making treaties.
J.G. Starke menguraikan bahwa sumber-sumber materiil hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu. Pada garis besarnya, bahan-bahan tersebut dapat dikategorikan dalam lima bentuk yaitu:
1. Kebiasaan;
2. Traktat;
3. Keputusan pengadilan atau badan-badan arbritasi;
4. Karya-karya hukum;
5. Keputusan atau ketetapan-ketetapan organ-organ/lembaga internasional.
Sedangkan pasal 38 ayat 1 statuta mahkamah internasional menetapkan bahwa sumber hukum internasional yang dipakai oleh mahkamah dalam mengadili perkara-perkara adalah:
1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang berupa umum maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international custom);
3. Prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law) yang diakui oleh Negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (teaching of the most highly qualified publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional.
Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tersebut tidak memasukkan keputusan-keputusan badan arbritasi sebagai sumber hukum internasional karena dalam praktiknya penyelesaian sengketa melalui badan arbritasi hanya merupakan pilihan hukum dari kesepakatan para pihak pada perjanjian. Di lain pihak, prinsip-prinsip umum hukum dimasukkan kedalam pasal 38 tersebut sebagai sumber hukum, sebagai upaya memberikan wewenang kepada Mahkamah Internasional untuk membentuk kaidah-kaidah hukum baru apabila ternyata sumber-sumber hukum lainnya tidak dapat membantu mahkamah dalam menyelesaikan suatu sengketa. Prinsip-prinsip umum tersebut harus digunakan secara analog dan diperoleh dengan jalan memilih konsep-konsep umum yang berlaku bagi semua sistem hukum nasional.
Perjanjian Internasional
Konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian internasional merupakan sumber utama hukum internasional. Konvensi-konvensi itu dapat berbentuk bilateral bila yang menjadi pihak hanya dua negara danmultilateral bila yang menjadi pihak lebih dari dua negara. Kadang-kadang suatu konvensi disebut regional bila yang menjadi pihak hanya negara-negara dari satu kawasan. Konvensi multilateral dapat bersifat universal bila menyangkut seluruh negara di dunia.
Konvensi-konvensi internasional yang merupakan sumber utama hukum internasional adalah konvensi yang berbentuk law-making treaties yaitu perjanjian-perjanjian internasional yang berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum. Sebagai contoh dapat disebutkan:
1. Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 mengenai Hukum Perang dan Penyelesaian Sengketa Secara Damai.
2. General Treaty for the Renunciation of War, 27 Agustus 1928.
3. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1945.
4. Konvensi-konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, 1961 dan Hubungan Konsuler, 1963.
5. Konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindunagn Korban Perang dan Protokol-protokol tambahan, 1977.
6. Konvensi PBB tentang Hukum Laut, 1982.
7. Konvensi Senjata-senjata Kimia, (Chemical Weapons Convention), 1993.
8. Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT), 1996.
Disamping itu terdapat sejumlah perjanjian mengenai kawasan bebas senjata nuklir yang bersifat regional yaitu:
1. Treaty of Tlaletolco yang meliputi wilayah Aamerika Latin dan Karibia (1967)
2. Treaty of Rarotonga meliputi kawasan Pasifik Selatan (1986)
3. Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) Treaty meliputi kawasan Asia Tenggara (1995)
4. Treaty of Pelindaba meliputi kawasan Afrika (1996).
Jumlah perjanjian yang bersifat bilateral jauh lebih banyak dari perjanjian multilateral. Selama 10 tahun antara 1945-1955 terdapat 3.633 perjanjian yang didaftarkan pada Sekretariat PBB yang semuanya berjumlah 225 jilid. Pada pertengahan tahun 1963 sudah tercatat 7420 perjanjian dalam 470 jilid.[4] Sampai tahun 1992, jumlah tersebut menjadi sekitar 20.000 yang disusun dalam 1.300 jilid.
Disamping itu sebagai akibat kesalingtergantungan dan kerjasama antar negara dalam era akhir abad 20 jumlah perjanjian yang dibuat oleh negara-negara setiap tahunnya cukup banyak. Sebagai contoh, tiap tahunnya Amerika Serikat membuat lebih dari 160 perjanjian dan 3.500 executive agreements.[5] Keadaan ini tentunya mempunyai arti sangat penting bagi perkembangan dan pengukuhan hukum internasional sebagai sistem hukum yang mengatur kegiatan antar negara.
Dalam law-making treaties ini negara-negara bersepakat merumuskan secara komprehensif prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum yang akan merupakan pegangan bagi negara-negara tersebut dalam melaksanakan kegiatan dan hubungannya atu sama lain. Ketentuan-ketenatuan yang dirumuskan dala law-making treatiestersebut bersifat umum maupun secara khusus di bidang-bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial, hukum, komunikasi dan bidang kemanusiaan.
Hukum Kebiasaan Internasional
Hukum kebiasaan berasal dari praktek Negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambilnya terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu kebijaksanaan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berulangkali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan. Terbentuknya suatu hukum kebiasaan didasari oleh praktek yang sama, dilakukan secara konstan, tanpa adanya pihak yang menentang serta diikuti oleh banyak negara. Dengan cara demikian maka terbentuk hukum kebiasaan yang makin lama makin bertambah kuat dan berlaku secara universal karena diikuti oleh hampir semua negara di dunia. Konvensi-Konvensi Hubungan Diplomatik, Konsuler, Konvensi-konvensi Hukum Laut tahun 1958 dan Konvensi tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 adalah beberapa contoh kodifikasi hukum kebiasaan. Dalam beberapa hal, hukum kebiasaan lebih menguntungkan dari hukum tertulis mengingat sifatnya yang cukup luwes. Hukum kebiasaan dapat berubah sesuai perkembangan hukum internasional sedangkan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan hukum positif harus melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit.
Prinsip-prinsip Umum Hukum
Sumber ketiga hukum internasional adalah prinsip-prinsip umum hukum yang berlaku dalam seluruh atau sebagian besar hukum nasional negara-negara. Walaupun hukum nasional berbeda dari satu negara ke negara lain namun prinsip-prinsip pokoknya tetap sama. Prinsip-prinsip umum yang diambil dari sistem-sistem nasional ini dapat mengisi kekosongan yang terjadi dalam hukum internasional. Prinsip-prinsip hukum administrasi dan perdagangan, ganti rugi dan kontrak kerja diambil dari sistem nasional untuk mengatur kegiatan yang sama dalam kerangka hukum internasional.
Keputusan-keputusan Peradilan
Keputusan-keputusan peradilan memainkan peranan yang cukup penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum internasional. Keputusan-keputusan mahkamah internasional misalnya dalam sengketa ganti rugi dan penangkapan ikan telah memasukkan unsur-unsur baru ke dalam hukum internasional yang selanjutnya mendapat persetujuan negara-negara secara umum. Disamping itu, karya dari tokoh-tokoh kenamaan dapat memainkan pernanan dalam proses pembentukan ketentuan-ketentuan hukum. Kita masih ingat betapa besarnya peranan pakar-pakar hukum di abad ke-17 dan 18 dalam proses pembentukan hukum internasional. Sehubungan dengan sumber-sumber hukum ini, mahkamah juga diperbolehkan untuk memutuskan suatu perkara secara ex aequo et bono yaitu keputusan yang bukan atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasar prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.