Aspek Hukum Jaminan Hak Tanggungan Dalam Pemberian Kredit Oleh Perbankan Kepada Debitur


A.   Latar Belakang Masalah
                                                   
Perbankan dalam memberikan kredit wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjikan. Hal yang utama dalam memberikan kredit adalah keyakinan bank sebagai kreditur terhadap debitur.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur atau dalam praktik perbankan dikenal dengan istila the five C’s yang terdiri dari unsur character, cafacity, capital, collateral and condition of economic.
Dalam kaitan ini, agunan merupakan salah satu unsur saja dalam pemberian kredit guna memperkecil risiko dalam menyalurkan kredit, karena pada prinsipnya tidak selalu suatu penyaluran kredit harus adanya agunan atau barang jaminan (collateral). Jenis usaha dan peluang bisnis yang dimiliki debitur pada dasarnya sudah merupakan jaminan terhadap prospek usaha itu sendiri. Dengan kata lain, apabila unsur-unsur yang ada telah dapat meyakinkan kreditur atas kemampuan debitur, maka jaminan cukup hanya berupa jaminan pokok saja dan bank tidak wajib meminta jaminan tambahan.
Dari gambaran di atas merupakan sesuatu yang ideal dalam pemberian kredit, tapi dalam rangka mengimplementasikan prinsip kehati-hatian, bank principle of prudential bank), maka hampir setiap pinjaman selalu meminta agunan atau jaminan dari debitur. Hal ini terjadi karena pihak bank beralasan bahwa jika suatu kredit dilepas tanpa agunan akan memiliki risiko yang sangat besar, dan jika proyek bidang usaha yang dibiayai mengalami kegagalan atau kerugian dan debitur tidak mampu lagi untuk membayarnya, maka pihak bank akan dirugikan dan kredit akan macet. Dengan adanya jaminan, maka pihak kreditur akan dapat menarik kembali dana yang disalurkan dengan memanfaatkan jaminan tersebut.
Dalam praktik perkreditan memberikan agunan benda tidak bergerak berupa tanah  merupakan agunan yang paling diminati karena secara ekonomis harga tanah dari waktu ke waktu bernilai tinggi.
Sebelum diundangkannya Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) tahun 1996, lembaga jaminan atas tanah dipergunakan hipotek yang ketentuan materilnya diatur dalam Buku II Kitab undang-undang Hukum Perdata sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah dicabut oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau lasim disebut Undang-undang Pokok Agraria yang disingkat UUPA dan pemberian pendaftarannya dilakukan menurut Overschrinjving Ordinantie (stb. 1834-27). Khusus creditverband, ketentuan materil dan pendaftarannya  diatur dalam stb. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan stb. 1937-190 jo stb.1937-191 (A.P.Parlindungan:185).
Pada tahun 1960, pemerintah telah berkeinginan untuk mewujudkan lembaga jaminan yang disesuaikan dengan kebutuhan Bangsa Indonesia, sebagaimana diamantkan Pasal 51 UUPA, yang menyatakan: “Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.
Dalam jangka waktu 35 tahun kemudian, akhirnya lahir juga undang-undang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 51 UUPA tersebut, yaitu dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT).
Dengan diundangkannya UUHT tersebut, maka tuntaslah unifikasi hukum tanah nasional yang merupakan salah satu tujuan utama UUPA, sehingga hak tanggungan menjadi satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah.
Substansi Pasal 29 UUHT yang menyatakan bahwa berlakunya UUHT, maka ketentuan mengenai creditverband (stb. 1908-542-jo stb.1909-586 dan stb. 1909-584 sebagaimana yang telah diubah dengan stb.1937-190 jo stb.1937-191 dan ketentuan mengenai hipotek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mngenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.
Kehadiran UUHT tersebut tidak terlepas dari situasi dan kondisi pembangunan bidang ekonomi yang membutuhkan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mmpu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik dalam lalu lintas hukum maupun perseorangan yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.

B.   Permasalahan

            Berdasarkan  latar belakang masalah di atas, masalah perlu dikaji adalah bagimanakah pengaturan hak jaminan setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996?

C.   Pembahasan

            Untuk mengetahui lebih jauh mengenai pengaturan hak jaminan setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, perlu dikemukakan hal-hal pokok yang berkenaan dengan UUHT.
1.    Objek Hak Tanggungan
Pada  dasarnya benda-benda (tanah) yang akan dijadikan jaminan atas suatu hutang dengan pembebanan hak tanggungan adalah benda yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.    dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin berupa uang;
b.    termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;
c.    mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum, dan;
d.    memerlukan penunjukan dengan undang-undang.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 4 UUHT telah menentukan hak atas tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan, yaitu:
(1)  Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah:
a.    hak milik
b.    hak guna usaha
c.     hak guna bangunan
(2)  Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan.’

Objek hak tanggungan ini menjadi luas jika dikaitkan dengan Undang-undang No.16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, yaitu:
(1)  Rumah Susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan atau kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan hutang dengan:
a.    dibebani hipotek, jika tanahnya tanah milikm atau hak guna usaha
b.    dibebani fidusia, jika tanahnya hak pakai atau tanah negara
(2)  Hipotik atau fidusia dapat juga dibebankan atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.

Objek hak tanggungan selain yang disebutkan di atas, UUHT juga membuka kemungkinan pembebnan hak tanggungan atas tanah berikut bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (4), yaitu:
Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.

Berdasarkan  Pasal 4 ayat (4) UUHT tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa minimal ada dua syarat  yang harus dipenuhi dalam menerapkannya, yaitu:
1.    bangunan dan tanah yang bersangkutan  merupakan satu kesatuan dengan tanahnya atau bangunan tersebut melekat pada tanah yang bersangkutan.
2.    pembebanannya dinyatakan dengan tegas oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam akta pemberian hak tanggungan atau jika tidak ditegaskan, maka yang dijadikan jaminan atau yang dibebani hak tanggungan hanya tanahnya saja.
Substansi Pasal 4 ayat (4) UUHT tersebut merupakan penerapan asas horisontal yang diambil dari Hukum Adat. Hal ini setidaknya memberikan nilai tambah dalam pemberian kredit, karena perhitungan  nilai benda yang dijaminkan tidak semata-mata diukur dari harga tanahnya saja, tetapi juga bangunan atau benda ataupun tanaman yang ada di atasnya mempunyai harga yang dapat dinilai, sehingga dapat meningkatkan nilai kredit.

2.    Ciri-Ciri Hak Tanggungan
 Untuk mengetahui ciri-ciri hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah, dapat diambil dari pasal-pasal yang ada dalam UUHT beserta penjelasannya, antara lain:
a.    memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegangnya (droit de preference), yaitu kepada kreditur. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat terakhir Pasal 1 angka 1, yaitu: “...... yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Hal ini juga dapat dijumpai dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b pada kalimat terakhir, dinyatakan bahwa: “  ..... pemegang hak tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur linnya”. 
b.    Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek hak tanggungan itu berada ( droit de suit). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 7, yaitu: “hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”.
c.    Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas. Pemenuhan asas spesialitas ini disebutkan dalam muatan wajib akta pemberian hak tanggungan, seperti dicantumkannya identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan, domisili pemegang dan pemberi hak tanggungan, jumlah hutang-hutang yang dijamin, nilai tanggungan dan benda atau yang menjadi objek hak tanggungan (Pasal 11 UUHT). Sedangkan pemenuhan asas publisitas dengan cara wajib didaftarkannya hak tanggungan pada kantor pertanahan setempat (Pasal 13 UUHT)
d.    Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, yang dapat dilakukan dengan cara:
1.    menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangn umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut (Pasal 6 UUHT)
2.    penjualan objek hak tanggungan secara dibawah tangan, jika dengan cara tersebut akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) UUHT)
3.    memberikan kemungkinan penggunaan acara parate eksekusi seperti yang diatur dalam Pasal 224 HIR dan 258 Rbg (Pasal 26 jo 14 UUHT).
e. objek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan sebelum kreditur pemegng hak tanggungan mengambil pelunasan dari hasil penjualan objek hak tanggungan (Pasal 21 UUHT)
  1. Hapusnya Hak Tanggungan
Dalam Pasal 18 UUHT ditentukan hal-hal yang menyebabkan hapusnya hak tanggungan, antara lain:
a.    hapusnya hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan
b.    dilepaskannya hak tnggungan oleh pemegang hak tanggungan
c.    pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, dan
d.    hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.
Untuk menjamin kepastian hukum, menurut Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UUHT, maka terhadap hak tanggungan pada sertifikat hak-hak atas tanah dan buku-buku tanahnya harus dicoret/diroya.
Pencoretan tersebut di atas dilakukan berdasarkan permohonan pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat hak tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditur bahwa hak tanggungan sudah lunas atau pernyataan tertulis dari kreditur bahwa hak tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan telah lunas atau karena krediturnya melepaskan hak tanggungan yang bersangkutan. (Pasal 22 ayat (4) UUHT).
Sehubungan dengan hal tersebut, alat bukti yang diperlukan untuk pencatatan hapusnya hak tanggungan dapat berupa:
a.    sertifikat hak tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditur karena hutang telah lunas atau pernyataan tertulis dari kreditur [Pasal 22 ayat (4)]
b.    pernyataan tertulis dari kreditur bahwa hak tanggungan dilepaskan [Pasal 18 ayat (1) huruf b]
c.    surat keputusan penetapan peringkat oleh hakim dalam hal terjadinya pembersihan ak tanggungan [Pasal 18 ayat 1) huruf c]
d.    surat keputusan perintah pencoretan oleh hakim dalam hal kreditur tidak bersedia memberikan pernyataan pencoretan [Pasal 22 ayat (5) dan (6)]
Di samping itu pencoretan hak tanggungan dapat pula dilaksanakan dalam hal-hal sebagai berikut:
a.    perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pihak yang berkepentingan apabila krediturnya tidak bersedia memberikan pernyataan tertulis dari kreditur bahwa hak tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan itu telah lunas atau karena kreditur melepaskan hak tanggungan yang bersangkutan [Pasal 22 ayat (5) UUHT]
b.    pelaksanaan roya parsial apabila diperjanjikan pelunasan hutang dilakukan secara angsuran [Pasal 22 ayat (9) UUHT]
c.    objek hak tanggungan dilelang atau dijual secara dibawah tangan [Pasal 6 dan 20 ayat (2) UUHT]
Selanjutnya untuk ketertiban administrasi pendaftaran tanah, maka hapusnya hak tanggungan tetap perlu dicatat/dicoret pada sertifikat dan Buku Tanah hak atas tanah yang bersangkutan. Alat bukti yang diperlukan untuk pencoretannya, dapat berupa:
a.    bukti pelepaan hak, dalam hal hak atas tanahnya dilepaskan secara sukarela dengan izin kreditur
b.    surat keputusan pencabutan hak, dalam hal hak atas tanahnya dicabut untuk kepentingan umum
c.    berita acara yang dibuat oleh pejabat kantor pertanahan setempat bersama-sama dengan pejabat pemerintahan setempat (Camat dan Kepla Desa/Lurah) bahwa tanahnya musnah karena sesuatu hal.
Dengan hapusnya hak tanggungan, maka sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan ditarik bersama-sama buku tanah hak tanggungan dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sertifikat hak tanggungan yang sudah diroya dimusnahkan. Jadi, pencatatan hapusnya hak tanggungan tersebut semata-mata hanyalah suatu upaya tindakan administratif yang dilakukan demi ketertiban administrasi bidang pertanahan.
  1. Eksekusi Hak Tanggungan
Salah satu ciri dari hak tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, apabila di kemudian hari debitur wanprestasi. Eksekusi hak tanggungan yaitu apabila debitur cidera janji. Objek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang hak tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain (Budi Harsono:17).
Eksekusi hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUHT telah menentukan bahwa jika debitur wanprestasi, maka:
a.    berdasarkan hak yang ada pada pemegang hak tanggungan pertama yaitu janji untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum atau kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan dapat dijual di bawah tangan [Pasal 20 ayat (2), penjelasan Pasal 20, pasal 6 dan Pasal 11 ayat (2) huruf e]
b.    berdasarkan irah-irah yang terdapat dalam sertifikat. Hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap [Pasal 14 ayat(2)]
Dari kedua cara eksekusi hak tanggungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa eksekusi hak tanggungan dengan cara yang pertama memberikan kebebasan kepada para pihak (kreditur dan debitur) menentukan cara yang paling mudah serta menguntungkan para pihak. Sedangkan eksekusi hak tanggungan melalui cara yang kedua, landasan hukumnya yaitu Pasal 224 HIR dan 258 Rbg yang disebut dengan parate eksekusi.
Eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR atau 258 Rbg dimulai dengan adanya permohonan dari pemegang hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri stempat dimana objek hak tanggungan berada, kecuali jika telah dipilih domisili yang tetap, maka permohonan eksekusi dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri yang dipilih tersebut, dengan keharusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut minta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana objek hak tanggungan berada dan dalam pelaksanaan eksekusinya diatur dalam Pasal 190 HIR atau 206 Rbg.

D.   Penutup

Untuk melaksanakan perintah Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah dapat diasumsikan sebagai sebuah optimisme dalm membangun perekonomian nasional karena di dalamnya dicantumkan serangkian janji-janji yang mengikat para pihak. Begitu pula dapat memberikan perlindungan baik kepada pemberi hak tanggungan sebagai pemegang hak atas tanah maupun bagi pemegang hak tanggungan ataupun pada pihak lainnya.
Substansi yang ada dalam UUHT dalam pelaksanaannya harus dijalankan oleh pihak-pihak yang disebut dalam UUHT, misalnya Notaris, PPAT, BPN yang merupakan pilar untuk menegakkan UUHT. Apalagi disertai dengan sanksi administratif bagi para pihak yng tersebut dalam UUHT, karena kelalaian atau pelanggaran dalam memenuhi berbagai ketentuan pelaksanaan tugasnya masing-masing.


DAFTAR  PUSTAKA

A. P. Parlindungan, 2001.  Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria. Alumni, Bandung

Boedi Harsono, 2001. Hukum Agraria Nasional. Alumni, Bandung

Anonim, 2000. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah

_______, 1999. Undang-undang Nomor 16 tahun 1985 Tentang Rumah Susun