Genosida Dalam Konflik Rwanda

Genosida dalam Konflik Rwanda


Begitu mengenaskan apabila dalam suatu wilayah Negara terjadi konflik yang menyangkut suatu etnisitas. Padahal kita tahu dalam suatu wilayah Negara alangkah indahnya apabila perbedaan tersebut justeru menjadi pemersatu bangsa. Terlebih lagi jika konflik mengarah pada bentuk kejahatan genosida, atau pembunuhan/pembersihan massal manusia. Sungguh kejih dan tidak berperikemanusiaan. Disini lain, warga tidak berkepentingan dan bersalah menjadi korban dan terbunuh sia-sia. Lantas siapa yang patut disalahkan? Faktor primordialkah atau memang semua telah dikonstruk sedemikian rupa oleh para elite yang berkepentingan didalamnya? Semoga kejadian yang terjadi di Negara miskin Rwanda, Bosnia ataupun di Indonesia hanya menjadi sejarah yang tak pernah terulang kini dan nanti.
Mengulas film produksi LGF Entertainment banyak memberi tahu kita tentang kekejaman genosida yang terjadi di Negara miskin Rwanda 1994 silam. Negara terpadat di Afrika Utara ini mempunyai jumlah penduduk sekitar 7,4 juta jiwa, namun sekitar 1 juta jiwa harus mati terbunuh dalam konflik yang melibatkan etnis Hutu ekstrimis dengan etnis Tutsi dan etnis Twa. Seperti  dilansir oleh media tiap menitnya sekitar 6 pria, wanita dan anak-anak terbunuh secara tragis selama 100 hari di tahun 1994. Bahkan sekitar 250.000-500.000 wanita mengalami kekerasan seksual, diantaranya sekitar 200.000 anak terlahir dan 67% diantaranya mengidap HIV/AIDS.

Pikiran, emosi dan perilaku pemicu genosida
           Genosida  sangat dikecam oleh dunia Internasional bahkan termasuk dalam pelanggaran HAM berat seperti termaktub dalam UU No.26/2000 tentang pengadilan HAM. Namun sangat disayangkan apabila genosida dipergunakan sebagai alat perebut kekuasaan semata, sangatlah kotor dibandingkan dengan politik uang ala Indonesia. Tetapi apabila permainan emosi primordial telah merasuk pikiran maka bukan mustahil semua dapat terjadi karenanya.
                Konflik etnis yang terjadi di Rwanda awalnya dipicu oleh banyak factor, seperti perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan hutu tahun 1959 maupun gagalnya pemulangan 1 juta pengungsi akibat peristiwa 1959 tersebut. Dilanjutkan dengan perang media yang dilancarkan setelah kematian presiden Juvenal Habyarimana akibat kecelakaan pesawat di Kigali. Dapat dilihat secara jelas bahwa konflik Rwanda memuat unsur politik yang kental yang mengatasnamakan etnis. Hal tersebut membuat pemerintahan Rwanda dicap gagal karena tidak mampu menjamin keamanan warga negaranya sendiri, padahal kita tahu itu merupakan hak setiap warga Negara yang harus direalisasikan oleh Negara.
                Dimarginalisasikannya etnis Hutu oleh pemerintah Belgia sebelum akhirnya dimerdekakan Januari 1962, merupakan titik awal konflik yang terjadi berkepanjangan hingga tahun 1994. Nah disitu saya melihat ketika masyarakat yang tergabung dalam persamaan kesatuan etnis merasa ditindas atau dimarginalkan oleh sebuah konstruk system, maka rasa nasionalis atau fanatic akan muncul perlahan-lahan mencoba mempengaruhi pikiran. Mengutip pernyataan David Trueblood sebagai acuan perumpamaan “ orang beragama biasanya akan mempertahankan agamanya habis-habisan”, ya mungkin etnisitas ibarat agama yang mengikat diri personal secara keseluruhan hingga membuat personalnya berusaha untuk mempertahankannya.
                Rasa iri yang berlebihan, merasa etnisnya lebih unggul ditambah kepentingan politik dan media yang paling sentral dijadikan alat propaganda, maka semangat untuk membela mati-matian etnis tersebut tanpa ragu membara seketika. Tanpa pikir panjang personal akan bertindak apa saja selagi itu ada kaitannya dengan etnis yang dibelanya, rasa kemanusiaan pun bukan lagi menjadi prioritas utama. Kesadaran yang dibangun merupakan atas dasar persamaan persepsi antar anggotanya, ya lewat etnis tersebut. Jadi pemasukan doktrin-doktrin akan mudah diterima oleh para anggotanya, karena pikiran dan emosi telah dipusatkan pada satu titik. Mudah saja dan menjadi kewajaran jika gejolak konflik gampang tersulut. Disini sagatlah diperlukan peran yang sentral di pihak pemerintah untuk menjadi mediator/penengah konflik, bukan serta mernah malah ikut bersinggungan langsung memicu konflik meluas.
                Dapat dicontohkan pula, heroiknya Paul Ruscsabagina menampung pengungsi korban genosida di hotelnya Des Miles Collins. Harta bahkan nyawa sekalipun ia tak perdulikan demi menyelamatkan para korban, terutama keluarganya yang memang berasal dari suku Tutsi. Disitu dapat dijadikan perenungan bagi kita tenyata perbedaan justeru dapat mempersatuhkan, mestipun dalam konteks paling sederhana sekalipun keluarga. Bagi saya genosida bukalah jalan yang elite untuk membumihanguskan suatu kelompok etnis tertentu, itu telah melanggar hakikat penciptaan manusia. Toh dihadapan Tuhan posisi mereka sama sederajadnya, kecuali golongan lain yang memang telah dilaknat Tuhan untuk dibumihanguskan karena telah berbuat zalim dan nista. Seperti contoh kaumnya Nabi Luth yang melakukan penyimpangan perilaku seksual secara berjamaah dsb, manusia tak mempunyai hak atas itu.