Sejarah hukum pidana di Indonesia

Sejarah Hukum Pidana Indonesia


De Nederlander, die over zeen en oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda yang berada diseberang lautan dan samudera luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah jajahannya membawa hukumannya sendiri untuk berlaku baginya).

Demikian kalimat pertama yang dikatakan oleh Prof. Mr. J.E Jonkers dalam buku karangannya Het Nederlandch-Indiche Strafstelsel yang diterbitkan pada tahun 1940

Maka, pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia sejak semula terdapat dualisme dalam perundang-undangan. Ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa lainnya yang merupakan jiplakan apa adanya dari hukum yang berlaku di Belanda dan ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing (Cina, Arab, dan India/Pakiskan).

Dualisme ini mula-mula juga ada dalam hukum pidana. Untuk orang-orang Eropa, berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri, trmuat dalam Firman raja Belanda tanggal 10 Februari 1866 No. 54 (staatblad 1866 No. 55) yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1867. Sedangkan untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri termuat dalam Ordonantie tanggal 6 Mei 1872 (staatblad 1872 No. 85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873.

Seperti pada waktu itu di Belanda, kedua kitab undnag-undang hukum pidana di Indonesia ini adalah jiplakan dari Code Penal dari Prancis yang oleh Kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di Belanda ketika negara itu ditaklukan oleh napoleon pada permulaan abad 19.

Pada tahun 1881 di Belanda dibentuk dan mulai berlaku pad atahun 1886 suatu kitab undang-undang hukum pidana baru yang bersifat nasional dan yang sebagian besar mencontoh kitab undang-undang hukum pidana di Jerman.

Sikap semacam ini bagi Indonesia baru diturut denagan dibentuknya kitab undang-undang hukum pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) dengan Firman raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus menggantikan kedua kitab undang-undang hukum pidana tersebut yang diberlakukan bagi semua penduduk di Indonesia.

Dengan demikian, diakhiri dualisme dari hukum pidana di Indonesia, mula-mula hanya untuk daerah-daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, kemudian untuk seleuruh Indonesia.

KUHP ini ketika mulai berlakunya disertai oleh “invoeringsverordening” berupa Firman raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatblad 1917 No. 497) yang mengatur secara terinci peralihan dari hukum pidana lama kepada hukum pidana baru.

Tidak kurang dari 277 undang-undang yang memuat peraturan hukum pidana di laur kedua kitab undnag-undang hukum pidana, ditetapkan satu peratu, sampai dimana peraturan-peraturan itu dipertahankan, dihapuskan atau diubah.

Keadaan hukum pidana ini dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada permulaan kemerdekaan Indonesia, berdasar dari aturan-aturan peralihan, baik dari pemerintah Jepang maupun dari Undang-undang Dasar RI 1945 pasal II dari aturan peralihan yang bebrunyi :

“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undnag-Undang Dasar ini”.

Dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, termuat dalam Berita Republik Indonesia II Nomor 9 diadakan penegasan tentang hukum pidana yang berlaku di Republik Indonesia., disebutkan :

“Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2.

Peraturan tersebut mengandung dua pasal berikut :
  • Pasal 1 : Segala badang negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, slama belum diadakan yang baru menurut UUD, masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan UU tersebut.
  • Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.
Isi peraturan ini hampir sama dengan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersbeut diatas. Perbedaannya adalah bahwa kini disebutkan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal pembatasan dan bahwa ditentukan peraturan-peraturan yang dulu itu dianggap tidak berlakuapabila bertentangan dengan UUD.

Ketentuan yang terakhir ini sering dilupakan oleh mereka yang cenderung menganggap semua peraturan dari zaman penjajahan Belanda yang tidak secara tegas dicabut atau diganti tetap berlaku tanpa kekecualiaan. Padahal diantara peraturan-peraturan itu ada beberapa yang jelas hanya layak dalam hubungan-hubungan “kolonial”.

Penyimpangan dari Peraturan Presiden 10 Oktober Nomor 2 oleh UU No. 1 tahun 1946 adalah apa yang ditentukan dalam pasal I bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekrang (26 Februari 1946) berlaku adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Balatentara Jepang yang berganti berkuasa di Indonesia sampai dengan tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan demikian, ditegaskan pertama-tama bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dianggap tidak berlaku lagi

Ini memang merupakan penyimpangan dari Peraturan Presiden No. 10 Oktober 1945 Nomr 2 yang menurut peraturan tersebut, semua peraturan yang ada pada tangal 17 Agustus 1945 tetap berlaku selama belum diganti dengan yang baru. Sedangkan setahu saya, pada tanggal 26 Februari 1946 belum ada undang-undang Republik Indonesia yang memuat peraturan hukum pidana.

Pasal II Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 mencabut semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh Panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het Militair Gezag).

Beberapa waktu sebelum 8 maret 1942 wilayah Hindia Belanda dinyatakan dalam keadaan perang (staat van oorlog en beleg alias SOB) dan penguasa militer Hindia-Belanda secara sah mengeluarkan agak banyak peraturan hukum pidana oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 semuanya dicabut. Jadi, yang tertinggal adalah peraturan-peraturan hukum pidana sebelum 8 Maret 1942 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sipil Hindia-Belanda.

Selanjutnya oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 ditentukan sebagai berikut :

  • Pasal III : Jikalau dalam sesuatu peraturan hukum pidana ditulis perkataan “Nederlandsch-Indie” atau “Nederlandch-Indich (e) (en)”2, maka perkataan-perkataan itu harus dibaca “Indonesie” atau Indonesisch (e) (en)” 2.
  • Pasal IV : Jikalau dalam ssuatu peraturan hukum pidana suatu hak, kewajiban kekuasaan atau perlindungan diberikan atas suatu larangan ditujukan kepada suatu pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang sekarang tidak ada lagi maka hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu harus dianggap diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang harus dianggap menggantinya.
  • Pasal V : Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau betentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.
  • Pasal VI :
  1. Nama undang-undang hukum pidana “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandch-Indie” diubah menjadi “Wetboek van Strarecht”.
  2. Undang-undang tersebut dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”


  • Pasal VII : Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam Pasal III, maka semua perkataan “Nederlandch onderdaan” dalam Kitab Undnag-undang Hukum Pidana diganti dengan “warga negara Indonesia”.
  • Pasal VIII : Beberapa paal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana diubah atau dicabut.
  • Pasal-pasal IX s.d XVI memuat beberapa tindak pidana baru yaitu pasal IX s/d XIII mengenai alat pembayaran yangs ah berupa mata uang atau uang kertas, pasal XIV mengenai penyiaran kabar bohong yang denagan itu sengaja diterbitkan keonaran di kalangan rakyat, pasal XV mengenai penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, pasal XVI mengenai penghinaan terhadap bendera kebangsaan Indonesia.
Pada akhirnya ditetapkan bahwa undang-undang ini mulai berlaku untuk pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya (26 Februari 1946) dan untuk daerah lain pada hari yang akan diteapkan oleh presiden.

Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 (Berita Republik Indonesia II 20-21 halaman 234) undang-undang ini untuk Sumatera ditetapkan berlaku mulai tanggal 8 Agustus 1946.

Pada waktu itu, Pemerintah Hindia-Belanda yang menamakan dirinya pemeritah federal, sudah ada di Jakarta dan menguasai beberapa daerah baik di jawa, Madura dan Sumatera maupun diluar daerah-daerah itu dan mengeluarkan beberpa undang-undang yang mengubah beberapa pasal dari KUHP yang tentunya hanya berlaku bagi daerah-daerah yang didudukinya sehingga ada dua KUHP.

Keadaan ini tetap berlangsung juga setelah pada 27 Desember 1949 kedaulatan Republik Indonesia Serikat diakui oleh pemerintah Belanda. Baru pada tanggal 29 September 1958 melalui Undang-undang No. 73 tahun 1958 yang berjudul “undang-undang tentang menyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia tenatang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Dengan demikian pada saat itu jelas berlaku satu hukum pidana untuk seluruh wilayah RI dengan Kitan Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP sebagai intinya.