sistem sosial budaya masyarakat indonesia


Jauh sebelum negara kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial khas-nya masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus-menerus diantara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.
Sistem Kebudayaan yang beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan dipahami, dimulai dari pemberiaan nama yang masih mencerminkan pemahaman yang berbeda pula. Seperti "Pribumi" (menyimak Pasal 131 IS yang membagi golongan penduduk di Indonesia), "Masyarakat Hukum Adat" (UU Pokok Kehutanan), "Masyarakat Terasing" (Departemen Sosial), "Masyarakat yang Diupayakan Berkembang" (Koentjaraningrat) dan "Kelompok yang Mempunyai Perikehidupan yang khas" (UU No. 10/1992).
Sedang pada tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia ini telah diakui dari semboyan negara : "BHINNEKA TUNGGAL IKA", walaupun beraneka, tetapi kita adalah satu kesatuan dalam negara Indonesia. Namun, kenyataan dilapangan berkata lain. Banyak cerita pedih seputar keberadaan masyarakat Adat terutama jika berbicara hak dan akses mereka terhadap sumber daya alam. Cerita penggusuran mereka dari sumber-sumber kehidupannya menghiasi sejarah pembangunan negeri ini. Sebut saja suku Amungme dan Komoro di bumi Papua karena adanya eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di Riau karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.
Pendekatan pembangunan yang bersifat masif dan seragam tidak membawa dampak positif bagi masyarakat adat, karena umumnya desain pembangunan dibuat berdasarkan aspirasi kelompok dominan (mainstream) dalam masyarakat. Sebagai saru kesatuan sosial, masyarakat adat (MA) masuk dalam kategori masyarakat yang tidak diuntungkan dalam struktur masyarakat. Ketika mereka berbeda dalam arti budaya, identitas, sistem ekonomi, bahkan sistem politik dari kelompok dominan lainnya dalam masyarakat. Masyarakat Adat seringkali tidak terwakili aspirasinya dalam proses pembangunan atau mendapatkan keuntungan dari proses itu. Padahal sebagai warga negara, masyarakat adat harus pula menikmati hak dan kewajiban yang adil dan sejajar dengan segmen masyarakat lainnya, masyarakat adat harus keleluasaan untuk melindungi dirinya dan budayanya serta menolak perubahan yang berdampak negatif bagi penghidupannya. Konsep penentuan nasib sendiri ini (self determination) telah luas diterima dalam prinsip-prinsip internasional, namun memang masih jauh dalam pelaksanaannya di Indonesia.
Dalam skala nasional, eksistensi masyarakat adat juga sangat penting untuk diakui dan dikembangkan. Karena masyarakat adat dengan kekhasannya menyimpan ketrampilan yang umum dikenal sebagai kearifan tradisional. Jika dikembangkan, ini akan menyumbang --misalnya-- bagi usaha pelestarian lingkungan yang modelnya sampai sekarang masih terus dicari.
Mungkin citra mereka yang kosmis-magis tidak dapat dicerna dengan dunia ilmiah, namun fakta-fakta di lapangan membuktikan apa yang mereka praktikkan melahirkan perilaku religius dalam bentuk pengelolaan lingkungan yang bijak dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini perilaku budaya sawah di Pulau Jawa dan Bali misalnya, merupakan kearifan lingkungan untuk memanfaatkan hujan sekaligus melindungi tanah belerang dari ancaman erosi karena curahan hujan. Teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur di Jawa Tengah disebut Nyabuk Gunung, di Jawa Barat disebut Ngais Gunung, dan di Bali disebut Sengkedan, ternyata pengetahuan yang telah lama dipraktikkan ini selaras dengan cara bertani mutakhir yaitu Contour Planting (Zakaria:1994).
Kondisi yang sama, bisa terjadi di belahan tempat lainnya di Indonesia. Jika, kita mau mencoba memahami praktik-praktik ini lebih jauh, yang kelak pada gilirannya akan memberi sumbangan berarti bagi pemanfaatan secara lestari sumber daya alam negeri ini.
Pengakuan pemerintah dan kelompok dominan terhadap masyarakat adat hanya sebatas --misalnya-- mengumpulkan simbol-simbol masyarakat adat dari berbagai penjuru Indonesia, tanpa mendalami makna dan hubungan timbal-balik simbol-simbol tersebut dengan alam sekitar mereka. Atau cenderung 'memusem'kan masyarakat adat sebagai sekelompok manusia unik, atau memandang mereka sebagai orang terbelakang dan 'memaksa' mereka untuk hidup dengan cara-cara modern, yang sialnya sangat berbias --lagi-lagi-- pikiran kelompok dominan. Simbol-simbol adat (seperti tari-tarian dan ukir-ukiran) tetap dilestarikan sementara organisasi masyarakat adat dibiarkan merana.
Jika kita melihat kebijakan, fenomena, aturan formal dan kenyataan yang ada maka penghancuran sistem adat secara sistematis dapat dilihat dari berbagai akses, yang utama adalah akses ke Sumber Daya Alam.

Akses ke Sumber Daya Alam
Setelah bertahun-tahun menempati suatu wilayah geografinya, maka hubungan masyarakat adat ke sumber daya alamnya di sekitarnya, secara alami telah terbentuk. Akses masyarakat adat ke sumber-sumber penghidupannyalebih dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. sehingga sewajarnya, akses mereka ke sumber daya alam tidaklah diputus, karena itu berarti memutus penghidupan masyarakat adat tersebut.
Namun menyimak praktik di bidang pengelolaan sumber daya alam, seperti pertambangan dan kehutanan sangat terlihat dengan sengaja akses MA ke sumber-sumber daya alam diputuskan. Di sektor kehutanan --lewat UU No.5 Thn. 1967-- kekisruhan pertama dimulai dari pengakuan UU kehutanan tersebut atas kepemilikan tanah hanya terbatas pada "Hutan Milik" dan "Hutan Negara"(Pasal 2 UU 5/1967).
Pengakuan atas Hutan Negara ini segara saja memberi legitimasi untuk menggusur hak penguasaan masyarakat adat atas hutan. Karena hutan marga, hutan daerah atau sejenisnya dianggap termasuk sebagai hutan negara (lihat Penjelasan Pasal 2 UU 5/1967). Sialnya Hak Milik harus dibuktikan kepemilikan lewat proses sertifikasi secara tertulis, maka bukti 'kepemilikan' faktual --seperti telah menguasai dan mengerjai lahan secara turun-temurun-- atau kesaksian oral tidak dianggap sebagai bukti kepemilikan. Maka, dengan mudah bagi hutan-hutan adat yang dikuasai masyarakat adat selama bertahun-tahun jatuh dalam kategori hutan negara. Sehingga berarti negara kembali dapat menguasai lahan-lahan adat tersebut tanpa perlu merasa memberi ganti rugi ke para masyarakat adat tersebut.

Penghancuran dari Aspek Budaya
Hilangnya akses masyarakat adat ke sumber-sumber daya alam, ternyata berdampak pula ke bergesernya pola budaya yang mendukungnya. Masyarakat adat umumnya hidup berkelompok, tinggal dalam satu pemukiman. Ini penting agar mereka dapat saling melindungi menghadapi kekerasan alam. Namun dengan semakin pudarnya budaya berkelompok, lewat program pemukiman kembali, yang sialnya dipaksakan a-la perumahan dikota-kota besar (satu keluarga satu rumah), ternyata mengakibatkan pudarnya semangat solidaritas diantara mereka.
Rumah Panjang di Kalimantan misalnya, biasa dihuni oleh beberapa keluarga, yang sekaligus berfungsi sebagai tempat pertemuan, bertukar pikiran dan sarana pengambilan keputusan diantara kerabat tersebut. Begitu rumah panjang digantikan rumah biasa, maka mereka kehilangan sarana berkumpul dan berdiskusi, yang pada akhirnyamembuat mereka kehilangan sarana berkumpul dan berdiskusi, yang pada akhirnya membuat mereka tidak bisa menghasilkan keputusan atas nama kelompok. Dengan kata lain mereka menjadi mudah terpecah-belah sebagai satu kekerabatan. Penghapusan rumah panjang ini, ternyata meningkatkan kekerasan pada kaum perempuan dalam suatu rumah tangga. Karena biasanya jika tetap hidup dalam rumah panjang bersama kerabat lainnya, tindakan kekerasan bisa dicegah oleh kerabat lainnya.
Bergesernya orientasi budaya mereka, berdampak pula ke perlindungan fungsi lingkungan pada umumnya. Salah satu ciri masyarakat adat adalah adanya budaya meramu. Kemampuan mereka untuk mengidentifikasikan potensi flora dan fauna memberikan sumbangan besar buat dunia obat-obatan, juga dunia pertanian.
Kemampuan mereka, yang didasarkan pengalaman empirik ratusan tahun, untuk menciptakan sistem penanaman yang berkelanjutan, malah dijadikan alasan untuk disalahkan jika terjadi kerusakan hutan.
Sistem peladang berpindah umum diterapkan oleh masyarakat adat dengan maksud menjaga kesuburan lahan itu. Orang Sivua, sebuah komunitas masyarakat adat Gunung Gawalise, Sulawesi Tengah, telah mempraktikkan sistem ini, dimana setelah panen padi ladang mereka akan mengistirahatkan tanah-tanah bekas padi itu. Ini yang disebut sebagai ofa. Kebiasaan peladangan gilir-balik ini juga dilakukan oleh masyarakat adat di Kalimantan.
Kebiasaan mereka mengistirahatkan lahan, malah dianggap sebagai menelantarkan lahan, sehingga denga sepihak pemerintah menganggap itu sebagai tanah terlantar yang harus 'diselamatkan' pemerintah lewat klaim sebagai Tanah Negara.
Parahnya selama bertahun-tahun kebiasaan ini juga dianggap sebagai biang penyebab kebakaran hutan. Baru pada awal tahun ini, ada pernyataan resmi bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah sektor perkebunan besar. Masyarakat adat juga mempraktikkan pemanfaatan hutan secara multi-produk, dengan tidak hanya bertumpu pada produk kayu saja. Pemanfaatan hasil hutan non-kayu, seperti kayu gaharu, damar, rotan, madu dan buah-buahan hasil hutan lainnya, selain mampu memberi penghidupan bagi mereka terbukti juga mampu menjaga kelestarian fungsi daya dukung hutan tersebut.
Sayangnya kebiasaan mereka ini tidak didukung oleh kebijakan kehutanan kita, yang lebih menekankan pada panen kayu ketimbang melihat hasil hutan non-kayu lainnya.
 
Penghancuran dari Aspek Kelembagaan
Pada asas politik pemerintahan, melalui UU No. 5 Thn. 1979 tentang Pemerintahan Desa sangat memberi dampak terhadap kelembagaan masyarakat adat. Negara secara efektif mengintegrasikan berbagai komunitas masyarakat adat di Indonesia dalam kontrolnya. Karena, prinsip yang mendasari UU ini adalah menyeragamkan pemerintahan desa sehingga memudahkan kontrol negara terhadap komunitas masyarakat, tidak terkecuali masyarakat adat.
Keseragaman dan pengendalian struktur pemerintahan desa bagi seluruh desa menguntungkan pemerintahan pusat. Karena akan memudahkan pemerintah pusat untuk mengadakan pembinaan langsung sampai tingkat desa. Sebaliknya bagi masyarakat adat diluar Jawa dan Madura, implementasi UU ini menimbulkan guncangan hebat dalam penghidupan mereka. Konsep "Desa" dan "Kelurahan" dalam UU No. 5 Thn. 1979 (UUPD) memaksa pemerintahan desa yang ada di luar Jawa untuk "beradaptasi" dengan struktur Desa.
Ribuan jumlah desa di Indonesia dengan keanekaragaman struktur wilayah serta sistem pemerintahan menyebabkan proses pelembagaan pemerintahan desa tidak sama. Bagi pemerintahan di Jawa dan Madura, yang sistemnya tidak jauh berbeda dengan sistem dalam UUPD, proses pelembagaan desa baru tidak menimbulkan kesulitan berarti. Tetapi bagi daerahdi luar Jawa dan Madura, yang mempunyai sistem sangat berbeda dengan UUPD, ternyata telah menimbulkan guncangan hebat bagi masyarakatnya. Ini, sekali lagi, membuktikan bahwa pembangunan negeri ini masih kuat berbias jawasentris.
Maka kesatuan masyarakat hukum seperti Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, Gampong di Aceh, Huria di Mandailing, Kampung di Kalimantan dan Sulawesi, Temukung di NTB dan NTT dalam mata pemerintah menjadi hilang digantikan dengan satu kata Desa. Masyarakat adat secara ekonomi dan politik menjadi subordinat desa, karena UU tersebut mempromosikan desa sebagai sentrum dari hubungan-hubungan ekonomi dan politik. Kehadiran UU Pemerintahan Desa ini, tidak saja membuat kesatuan masyarakat hukum ini berubah nama menjadi desa, tetapi juga harus menyesuaikan secara operasional mekanisme pemerintahan desa berdasarkan UU ini. Pembentukan perangkat desa dan dan wewenang-wewenangnya mempertegas munculnya kekuasaan negara dalam masyarakat adat.


Undang-undang Pemerintahan Desa memberi dasar bagi adanya upaya untuk pembentukan pemecahan, penyatuan, dan penghapusan Desa (Pasal 2 UUPD). Apa yang dikenal dengan 'regrouping desa' atau 'desa orde baru'.
Regrouping desa ini membuat konflik internal dalam kelompok-kelompok masyarakat adat. Karena dilakukan tanpa melihat sistem budaya dan ekologi suatu kelompok masyarakat, tetapi lebih ke jumlah penduduk desa tersebut.
Bisa saja teritori kelompok masyarakat adat dipecah-pecah menjadi beberapa desa, sehingga menyulitkan mereka untuk berkomunikasi.
Penyeragaman struktur pemerintahan di desa dalam tangan Kepala Desa dan Lembaga Masyarakat Desa (LMD) yang diatur dalam Pasal 2 UUPD, sama sekali tidak mengakui keberadaan pemerintahan lokal yang telah ada, dan tak mungkin hapus dalam masa sekejab. Pemerintahan adat, telah disingkirkan oleh UUPD.
Kepala Desa jelas perpanjangan tangan pemerintah pusat, dan mencerabut pimpinan desa dari pengawasan warga desa. Karena walaupun kepala desa dipilih secara langsung, umum, bebas dan rahasia oleh penduduknya, namun syarat-syarat, tata-cara dan pencalonan pemilihan dan pengangkatannya dilakukan oleh pejabat negara. Baik melaui Peraturan Daerah, maupun restu Gubernut ataupun Menteri Dalam Negeri (Pasal 5 UUPD). Lebih jelas lagi, Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang mengangkatnya, sementara LMD yang diyakini sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat desa hanya cukup diberikan keterangan pertanggungjawaban saja (Pasal 10 ayat 2 UUPD).
Kehadiran UUPD secara sistematis telah menghancurkan sendi-sendi pengaturan diri sendiri kelompok masyarakat adat dan menghancurkan budaya masyarakat adat dalam kaitannya dengan keberlanjutan alam.