Hukum Den Haag / The Hague Laws

                                               Hukum Den Haag atau The Hague Laws


Hukum Den Haag atau The Hague Laws adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan serangkaian ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai alat (sarana) dan cara (metode) berperang (means and methods of warfare) serta menekankan bagaiman cara melakukan operasi-operasi militer.

      Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari             akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).

Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

Hukum Den Haag menentukan hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang bersengketa tentang cara melakukan operasi–operasi militer serta membatasi cara-cara yang dapat menyebabkan kerusakan di pihak musuh. Peraturan-peraturan ini terdapat dalam Konvensi-konvensi Den Haag 1899, yang kemudian direvisi tahun 1907.

Disebut dengan The Hague Laws, karena pembentukan ketentuan-ketentuan tersebut dihasilkan di kota Den Haag, Belanda. Hukum Den Haag terdiri dari serangkaian ketentuan yang dihasilkan dari Konferensi 1899 dan ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari konferensi 1907.

Konferensi Den Haag 1899 diadakan mulai tanggal 20 Mei 1899 hingga 29 Juli 1899 yang menghasilkan tiga konvensi (perjanjian internasional) dan tiga deklarasi (pernyataan) pada tanggal 29 Juli 1899.

Adapun tiga konvensi tersebut adalah :

d. Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai;

e. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; beserta Lampirannya;

f. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai Berikut :

d. Deklarasi tentang Larangan, untuk jangka waktu lima tahun, Peluncuran Proyektil-proyektil dan Bahan Peledak dari Balon, dan Cara-cara serupa lainnya;

e. Deklarasi tentang Gas-gas yang mengakibatkan sesaknya pernafasan (gas cekik atau “asphyxiating gases”;

f. Deklarasi tentang Peluru-peluru yang bersifat ‘mengembang’ di dalam tubuh manusia (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai Berikut :

a. Deklarasi tentang Larangan, untuk jangka waktu lima tahun, Peluncuran Proyektil-proyektil dan Bahan Peledak dari Balon, dan Cara-cara serupa lainnya;

b. Deklarasi tentang Gas-gas yang mengakibatkan sesaknya pernafasan (gas cekik atau “asphyxiating gases”;

c. Deklarasi tentang Peluru-peluru yang bersifat ‘mengembang’ di dalam tubuh manusia (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).

Pada Bagian I tentang pihak-pihak yang bersengketa terdapat 3 (tiga) Bab.

Bab I membahas mengenai kualifikasi dari pihak-pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 1 menerangkan bahwa Hukum mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang tidak hanya diterapkan kepada tentara, tetapi juga kepada milisi dan kelompok sukarelawan yang memenuhi persyararatan-persyaratan sebagai berikut:

1. Dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab atas anak buahnya;

2. Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali dari jarak jauh;

3. Membawa senjata secara terbuka; dan

4. Melakukan operasinya sesuai dengan peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan perang.

Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai

Lahirnya konvensi I Den Haag 1899 tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai tidak terlepas dari upaya untuk sebisa mungkin menyelesaikan segala bentuk perselisihan dengan jalan damai tanpa perlu angkat senjata. Mengingat bahwa perang dilakukan dengan persenjataan yang mengakibatkan malapetaka yang lebih besar, maka tidaklah mengherankan apabila umat manusia berusaha sekuat-kuatnya menghapuskan perang, atau sekurang-kurangnya memperkecil timbulnya perang. Suasana jemu terhadap perang itulah yang melatar belakangi timbunya keinginan untuk membuat ketentuan dalam konvensi I Den Haag 1899 tentang Penyelesaian Sengkata Internasional secara Damai.

Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; beserta Lampirannya

Konvensi yang terdiri dari 60 Pasal ini berlaku mulai 4 September 1900. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan untuk menjaga perdamaian dan mencegah konflik bersenjata, namun tidak semua jalan pencegahan konflik bersenjata dapat dihentikan, maka perlu adanya peninjauan kembali terhadap hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan umum dalam perang, baik dengan memberikan pengertian, atau meletakkan beberapa batasan tertentu dalam rangka untuk sejauh mungkin mengurangi kerusakan

Pada Bagian I tentang pihak-pihak yang bersengketa terdapat 3 (tiga) Bab.

Bab I membahas mengenai kualifikasi dari pihak-pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 1 menerangkan bahwa Hukum mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang tidak hanya diterapkan kepada tentara, tetapi juga kepada milisi dan kelompok sukarelawan yang memenuhi persyararatan-persyaratan sebagai berikut:

1. Dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab atas anak buahnya;

2. Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali dari jarak jauh;

3. Membawa senjata secara terbuka; dan

4. Melakukan operasinya sesuai dengan peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan perang.

Bagian II tentang Permusuhan terdapat 5 (lima) Bab.

Bab I mengatur mengenai alat-alat melukai musuh, pengepungan dan pengeboman.

Di dalamnya terdapat bagian terpenting, yaitu klausula pokok yang menyatakan bahwa : hak para pihak yang berperang untuk menggunakan alat-alat untuk melukai musuh adalah tidak tak berbatas (Pasal 22). Bagian ini juga memuat larangan-larangan seperti:

- Larangan penggunaan racun atau senjata beracun, tindakan licik;

- Larangan membunuh atau melukai musuh yang terluka dan telah meletakkan senjatanya, atau tidak memiliki senjata lagi untuk bertahan;

- Larangan untuk membunuh atau melukai mereka yang telah menyerah;

- Larangan menyatakan tidak ada pertolongan yang akan diberikan;

- Larangan penggunaan senjata, proyektil atau material yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak perlu;

- Larangan menggunakan bendera perdamaian, bendera nasional, tanda-tanda militer, seragam musuh atau tanda pembedaan dalam Konvensi Jenewa yang tidak pada tempatnya. Juga larangan penjarahan, mata-mata dan penyalahgunaan bendera perdamaian (Pasal 23).

Bagian III tentang Penguasa Militer di Wilayah Negara yang Bertikai.

Sementara dalam Pasal 43 sampai Pasal 45 memberi ketentuan kepada Penguasa Militer untuk menghormati hukum di wilayah yang diduduki, dilarang untuk memaksa penduduk dari wilayah yang diduduki untuk memberikan informasi mengenai tentara dari pihak berperang lainnya, atau mengenai alat-alat pertahanan mereka. Dan dilarang untuk memaksa penduduk dari wilayah yang diduduki untuk bersumpah setia kepada Penguasa Pendudukan.

Bagian IV tentang Menginternir Pihak yang Bersengketa dan Perawatan mereka yang Terluka di Negara Netral. Pada bagian ini terdapat 4 (empat) Pasal, yang mengatur ketentuan negara netral dalam mebantu merawat korban yang terluka (Pasal 57-59). Sedangkan pasal terakhir yakni Pasal 60, menjelaskan tentang pemberlakuan Konvensi Jenewa terhadap mereka yang sakit dan terluka pada wilayah netral.

Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut

Konvensi ini terdiri dari 14 (empat belas) Pasal. Pada Pasal I menjelaskan bahwa Kapal rumah sakit militer, yakni: kapal yang dibangun atau ditugaskan oleh Negara-negara yang khusus dan semata-mata untuk tujuan membantu korban luka, sakit atau terdampar, yang mana harus telah dikomunikasikan kepada negara-negara yang bersengketa di awal atau selama persengketaan berlangsung, dan dalam hal apapun sebelum mereka bekerja, harus menghormati dan dilarang menangkap atau mengganggu kapal rumah sakit karena mereka berlabuh pada pelabuhan yang netral

Sedangkan The Second Hague Peace Conference pada tanggal 18 Oktober 1907, menghasilkan 13 konvensi dan sebuah deklarasi.

Konvensi-konvensi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai.

2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Kontrak.

3. Konvensi III tentang Permulaan Perang.

4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, beserta Lampirannya.

5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat.

6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang.

7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang.

8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut.

9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut pada saat Perang.

10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut.

11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang di Laut.

12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.

13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.

Konvensi VI sampai dengan Konvensi XII Den Haag 1907 pada umumnya mengatur masalah kapal, kapal perang, jadi menyangkut perang di laut.

Adapun satu-satunya deklarasi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian II tersebut adalah Deklarasi yang melarang Penggunaan Proyektil-proyektil atau Bahan-bahan Peledak dari baln

Konvensi III tentang Permulaan Perang

Analisis Konvensi Den Haag III 1907

Konvensi Den Haag III mengatur mengenai cara memulai perang. Konvensi Den Haag III 1907 terdiri dari 8 pasal yang mana pada pasal 1 merupakan ketentuan umum, pasal 2 sampai pasal 7 merupakan pelaksanaan konvensi dan pasal 8 merupakan penutup. Para pihak yang terlibat dalam konvensi ini adalah Yang Mulia Kaisar Jerman, Raja Pursia dan lain-lain yang terlibat di dalmnya.

Deklarasi perang diperlukan agar : (1) untuk mencegah adanya serangan yang sekoyong-koyong dan upaya ada batas yang nyata antara keadaan damai dan perang; (2) agar negara-negara netral mengetahui bahwa dua negara berada dalam keadaan perang; (3) untuk mencegah tuduhan adanya suatu perang yang tidak adil (unlawful war)

Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum humaniter dapat dibagi sebgai berikut:

1. Jus ad Bellum atau tentang perang yang mengatur dalam hal-hal bagaimanakah suatu negara dibenarkan untuk menggunakan kekerasan senjata.

2. Jus in Bello yaitu hukum yang berlaku mengatur dalam perang, dibedakan lagi menjadi dua yaitu:

a. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang cara dilakukannnya perang itu sendiri (conduct of war). Bagian ini disebut pula peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan hukum Den Haag.

b. Ketntuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan prang-orang yang menjadi korban perang baik sipil maupun militer. Bagian ini disebut pula peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan hukum Jenewa.

Jika dihubungkan dengan pendapat Muchtar Kusumaatmadja Konvensi Den Haag III 1907 termasuk ke dalam golongan Jus in Bellum.

Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat

Konvensi IV mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat ini hadir untuk merevisi Konvensi 1899 mengenai Hukum dan kebiasaan Perang di Darat, maka tak heran jika Konvensi 1907 ini tidak jauh berbeda dengan Konvensi pendahulunya di tahun 1899.

Konvensi ini hanya terdiri dari 9 Pasal, tetapi dilampiri sebuah annex yang berjudul Regulations respecting the laws and customs of war on land, yang terdiri dari 56 Pasal. Annex ini lebih dikenal dengan sebutan : Hague Regulations, atau disingkat HR.

Di dalam Pasal 1 dari HR tersebut dinyatakan bahwa :

Hukum, hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang tidak hanya diterapkan kepada tentara, tetapi juga kepada milisi dan kelompok sukarelawan yang memenuhi persyararatan-persyaratan sebagai berikut:

1. Dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab atas anak

buahnya;2. Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali dari jarak

jauh;3. Membawa senjata secara terbuka; dan4. Melakukan operasinya sesuai dengan peraturan-peraturan dan kebiasaankebiasaan

perang……………….Di Negara-negara di mana milisi atau kelompok sukarelawan merupakan atau menjadi bagian dari tentara, maka mereka termasuk dalam pengertian "Angkatan Darat".

Selanjutnya dalam Pasal 2 ditentukan juga bahwa segolangan penduduk disebut belligeren, seperti mereka yang tersebut dalam Pasal 1, apabila mereka memenuhi persyaratan:

Penduduk di wilayah yang belum diduduki, yang pada saaat musuh akan menyerang, yang secara spontan mengangkat senjata untuk memberikan perlawanan tanpa sempat mengorganisir diri mereka sendiri sesuai dengan Pasal 1, harus dianggap sebagai Belijeren apabila mereka mengangkat senjata secara terbuka dan apabila mereka mematuhi hukum dan kebiasaan

perang. Pasal 2 ini menyangkut apa yang dikenal dengan istilah levee en masse. Jadi persyaratan yang harus dipenuhi supaya diakui sebagai levee en masse adalah:

1. Penduduk dari wilayah yang diduduki;2. Secara spontan mengangkat senjata;

3. Tidak ada waktu untuk mengatur diri; 4. Mengindahkan hukum perang; 5. Membawa senjata secara terbuka.

Sementara dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa Angkatan Bersenjata dari pihak-pihak yang berperang dapat terdiri dari kombatan dan non-kombatan. Jika tertangkap oleh musuh maka keduanya mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang.

Perlu dicatat disini bahwa non-kombatan yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ini bukanlah penduduk sipil, tetapi bagian dari angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur.

Berdasarkan apa yang tercantum dalam Pasal 1,2 dan 3 itu, maka menurut HR golongan yang secara aktif dapat turut serta dalam pertempuran adalah:

1. Tentara (Armies) 2. Milisi dan Volunteer Corps (apabila memenuhi persyaratan)

3. Leeve en masse (dengan memenuhi persyaratan tertentu)

Pasal 1,2 dan 3 ini juga berkaitan dengan Distinction Principle/Prinsip pembedaan, yakni mengenai kombatan dan penduduk sipil. Prinsip Pembedaan dalam pasal-pasal di Konvensi IV Den Haag 1907 ini juga berhubungan dengan Konvensi Jenewa 1,2 dan 3, yaitu Pasal 13 dalam Konvensi 1-2 dan Pasal 4 dalam Konvensi 3.

Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat

Konvensi Den Haag V terdiri dari 25 Pasal. Dimana Pasal 1 - Pasal 10 tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral. Pasal 11 - Pasal 15 tentang Wilayah Netral. Pasal 16 - Pasal 18 tentang orang Netral. Pasal 19 tentang bahan perkeretapian. Pasal 20 - Pasal 25 tentang ketentuan penutup. Konvensi Den Haag V 1907 mengatur tentang Hak-hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam perang di darat. Dengan demikian, dalam konvensi ini terdapat dua pengertian yang harus diperhatikan yaitu Negara Netral (Neutral Powers) dan Orang Netral (Neutral Persons). Yang dimaksud dengan Negara netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung.