Teori Input & Output Dalam Sosiologi Hukum

TEORI INPUT DAN OUTPUT DALAM SOSIOLOGI HUKUM


      Di dalam suatu sistem sosial dapat dijumpai bekerjanya 4 proses-proses fungsional utama, yaitu:
·         Adaptasi;
·         Perwujudan tujuan;
·         Mempertahankan pola; dan
·         Integrasi.
Keempat proses itu saling kait-mengkait dan secara timbal-balik saling memberikan input. Setiap sub-proses memperoleh input dari ketiga lainnya. Sementara itu, output dari salah satu proses juga akan menjadi input bagi sub-proses yang lain.
Semua itu menunjukkan bahwa pemanfaatan hasil studi ilmu-ilmu sosial di dalam studi hukum sangat diperlukan. Ini tidak dapat terjadi bila kerangka berfikir yang kita ikuti masih tetap bertumpu pada aliran analisis-positivitis.
Sekalipun aliran analisis-positivitis melihat masalah pengaturan oleh hukum dari segi legitimasinya dan semata-mata dilihat sebagai ekspresi dari nilai-nilai keadilan, justru banyak tugas-tugas yang menyangkut pelaksanaan keadilan yang memerlukan keahlian-keahlian yang bersifat non-hukum, yang seringkali belum dikuasai benar oleh para petugas hukum yang ada pada saat ini.


Sosiologi hukum memperkenalkan banyak faktor-faktor non hukum yang mempengaruhi perilaku hukum tentang bagaimana mereka membentuk dan melaksanakan hukum. Dalam hal ini sosiologi hukum menekankan pada penerapan hukum secara wajar atau patut, yaitu memahami aturan hukum sebagai penuntun umum bagi hakim, yang menuntun hakim menghasilkan putusan yang adil, di mana hakim diberi kebebasan dalam menjatuhkan putusan terhadap setiap kasus yang diajukan kepadanya, sehingga hakim dapat menyelaraskan antara kebutuhan keadilan antara para pihak atau terdakwa dengan alasan umum dari warga masyarakat.
Pengertian sosiologi hukum menurut  HARRY C. BREDEMEIER
Sosiologi hukum adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial. Salah satu misi sosiologi hukum adalah memprediksi dan menjelaskan berbagai fenomena hukum, antara lain bagaimana suatu kasus memasuki sistem hukum, dan bagaimana penyelesaiannya. Sosiologi hukum menggunakan fakta-fakta tentang lingkungan sosial di mana hukum itu berlaku. Kajian ini bekerja untuk menemukan prinsip-prinsip sosial yang mengatur bagaimana hukum bekerja secara konrit di dalam praktik. Sekalipun demikian, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap fakta-fakta hukum yang ada akan tetapi menjelaskan bagaimana fakta-fakta hukum itu sesungguhnya terjadi dan apa penyebabnya. Sebagaimana penegasan Baumgartner (Dennis Patterson, 1999: 414): “As a scientific enterprise, the sociology of law is not in a potition to pass judgment on the facts it uncovers. Those facts, however, often possess great moral relevance for participants and critics of a legal system”.
Pandangan sosiologi hukum pada dasarnya adalah hukum hanya salah satu dari banyak sistem sosial dan sistem-sistem sosial lain yang juga ada di dalam masyarakatlah yang banyak memberi arti dan pengaruh terhadap hukum. Dengan menggunakan pandangan yang sosiologis terhadap hukum, maka akan menghilangkan kecenderungan untuk selalu mengidentikkan hukum sebagai undang-undang belaka, seperti yang dianut oleh kalangan positivis atau legalistik.
Titik tolak sosiologi hukum sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman (1975: vii), beranjak dari asumsi dasar: “The people who make, apply, or use the law are human beings. Their behavior is social behavior. Yet, the study of law has proceeded in relative isolation from other studies sciences”.
Asumsi dasar yang menganggap bahwa orang yang membuat, menerapkan dan menggunakan hukum adalah manusia. Perilaku mereka adalah perilaku sosial. Inilah yang perlu dipahami bahwa hukum bertujuan untuk manusia dan bukan hukum bertujuan untuk hukum.
Dalam kajian sosiologi hukum, eksistensi pengadilan tidak mungkin netral atau otonom. Bagaimanapun setiap pengadilan yang berada pada suatu negara, sangat wajar jika memiliki keberpihakan pada ideologi dan “political will” negaranya. Oleh karenanya, adalah tidak aneh bagi sosiologi hukum jika pengadilan menjadi ”älat politik”, sebagaimana yang dinyatakan oleh Curzon (1979: 19) : “…the core of political jurisprudence is a vision of the courts as political agencies and judges as political actors…”
Oleh karena itu, sosiologi hukum bukanlah sosiologi ditambah hukum, sehingga pakar sosiologi hukum adalah seorang juris dan bukan seorang sosiolog. Tidak lain karena seorang sosiolog hukum pertama-tama harus mampu membaca, mengenal dan memahami, berbagai fenomena hukum sebagai objek kajiannya. Setelah itu, ia tidak menggunakan pendekatan ilmu hukum (dogmatik) untuk mengkaji dan menganalisis fenomena hukum tadi, melainkan ia melepaskan diri ke luar dan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial (Achmad Ali, 1998: 18).


Bredemeier mengatakan bahwa adalah sangat penting untuk membedakan antara dua jenis usaha yang menghubungkan antara sosiologi dan hukum.
  1. Sosiologi Tentang Hukum, adalah menjadikan hukum sebagai fokus dari investigasi yang bersifat sosiologis. Tujuannya adalah menggambarkan arti penting dari hukum terhadap masyarakat luas atau menggambarkan proses-proses internalnya atau bahkan kedua-duanya.
  2. Sosiologi Dalam Hukum, adalah memfasilitasi pelaksanaan hukum dari fungsi-fungsinya.Tujuannya adalah tergantung dari poin 1 dalam hal ini pengetahuan sosiologis tentang berbagai fungsi hukum dan mekanisme pelaksanaannya tersebut.
Bredemeier mengungkapkan suatu analisis terhadap fungsi-fungsi hukum dan hubungannya dengan sub sistem fungsional lain dari masyarakat. Ia kemudian membahas beberapa garis penting dalam sosiologi hukum yang menjadi penekanan analisis itu dan kedudukan sosiologi dalam hukum.
Bredemeier menggunakan teori yang didasarkan pada teori Sibernetica Talcott Parsons yang menggunakan empat proses fungsional dari suatu sistem sosial, antara lain :
  1. Dengan adapatation dimaksudkan sebagai proses ekonomi
  2. Goal Persuance adalah proses politik
  3. Pattern maintenance secara sederhana dapat diartikan sebagai proses sosialisasi
  4. integation adalah proses hukum 
Jadi pada dasarnya inti ajaran Bredemeier adalah sebagai berikut :

Pertama adalah Sistem Hukum ( badan peradilan maksudnya ) merupakan suatu mekanisme yang berfungsi untuk menciptakan integrasi yang menghasilkan koordinasi dalam masyarakat dan mendapat masukkan ( inputs ) dari : 
  • Sistem politik, berupa penetapan tujuan dan dasar kekuasaan penegakkan hukum sebagai imbalan dari penafsiran dan legitimasi yang diberikan oleh sistem hukum.
  • Sistem adaptif, berupa pengetahuan dan permasalahan-permasalahan sebagai patokan penelitian sebagai imbalan terhadap organisasi serta kebutuhan akan pengetahuan.
  • sistem pattern maintenance berupa konflik dan penghargaan sebagai imbalan dari pemecahan konflik dan keadilan yang diberikan oleh sistem hukum.  
Kedua adalah Didalam fungsinya untuk menciptakan integrasi maka efektifitasnya tergantung dari berhasilnya sistem hukum untuk menciptakan derajat stabilitas tertentu dalam proses hubungan antara sistem hukum dengan sektor-sektor lainnya. Beberapa faktor yang dapat mengganggu stabilitas tersebut antara lain :
  1. kemungkinan timbulnya konsepsi-konsepsi tujuan dalam hukum yang tidak konsisten dengan kebijaksanaan dengan sistem politik.
  2. tanggapan dari kekuasaan legislatif terhadap fluktuasi jangka pendek kepentingan-kepentingan pribadi.
  3. tidak adanya komunikasi perihal pengetahuan yang akurat dengan pengadilan.
  4. tidak adanya fasilitas untuk melembagakan fungsi peradilan dalam diri warga masyarakat.
  5. adanya perkembangan nilai-nilai dalam sistem pattern-maintenance yang berlawanan dengan konsepsi keadilan.
  6. tidak adanya atau kurangnya saluran-saluran melalui mana kebutuhan peradilan dapat dipenuhi.
Ketiga adalah, hal-hal tersebut di atas dapat membuka beberapa kemungkinan untuk mengadakan penelitian sosiologi hukum, terutama terhadap masalah-masalah sebagai berikut :
  1. latar belakang orang-orang yang berfungsi sebagai pembentuk hukum pada kekuasaan legislatif.
  2. mekanisme yang diperlukan untuk menjabarkan ideal-ideal hukum dalam profesi hukum.
  3. saluran komunikasi tentang ilmu pengetahuan kepada kalangan hukum.
  4. persepsi-persepsi dari masyarakat terhadap hukum, dan dasar-dasar dari persepsi tersebut.
  5. reaksi-reaksi warga masyarakat terhadap hukum yang di perlakukan kepadanya.
  6. sarana-sarana lainnya untuk menyelesaikan konflik.di samping hukum. 
Hukum disini ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur, atau seperti yang sudah disebutkan diatas sebagai mekanisme intgerasi. pada waktu timbul sengketa dalam masyarakat, maka ia memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar sengketa itu diselesaikan. Pembiaran terhadap sengketa-sengketa itu tanpa penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. pada itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu proses kerjasama yang produktif. Pada saat hukum itu mulai bekerja, maka pada saat itu pula mulai dilihat betapa bekerjanya hukum itu sebagai mekanisme pengintegrasi melibatkan pula ketiga proses yang lain, berupa pemberian masukan-masukan yang nantinya diubah menjadi keluaran-keluaran.
  1. Masukan Dari Bidang Ekonomi; Fungsi adaptif atau proses ekonomi memberikan bahan informasi kepada hukum mengenai bagaimana penyelesaaian sengketa itu dilihat sebagai proses untuk mempertahankan kerjasama yang produktif. Untuk dapat menyelesaikan sengketa tersebut, hukum membutuhkan keterangan mengenai latar belakang sengketa dan bagaimana kemungkinannya diwaktu yang akan datang apabila sesuatu keputusan dijatuhkan. Pertukaran antara proses integrasi dan adaptasi atau antara proses hukum dan ekonomi ini akan menghasilkan keluaran yang berupa pengorganisasian atau penstrukturan masyarakat. Melalui keputusan-keputusan hukum itu ditegaskan apa yang merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban dan lain-lain. Keluaran yang berupa pengaruh yang datang dari pengorganisasian kembali oleh keputusan hukum ini tampak dalam keputusan-keputusan yang benar-benar menimbulkan perubahan dalam struktur atau organisasi bidang ekonomi tersebut.
  2. Masukan Dari Bidang Politik; Proses politik ini menggarap masalah penentuan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh masyarakat dan negara serta bagaimana mengorganisasi dan memobilisasi sumber-sumber daya yang ada untuk mencapainya. Hukum dalam hal ini pengadilan, menerima masukkan dari sektor politik dalam benruk petunjuk tentang apa dan bagaimana menjalankan fungsinya. Petunjuk-petunjuk tersebut secara konkrit dan eksplisit tercantum dalam hukum positif dan menjadi pegangan pengadilan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya. Akan ganti masukan tersebut, pengadilan memutuskan untuk memberikan legitimasinya ( atau tidak ) kepada peraturan-peraturan hukum, yang di Indonesia dikenal sebagai masalah hak menguji undang-undang
  3. Masukan Bidang Budaya; Pertukaran yang terjadi disini bisa dikatakan sebagai yang terjadi antara proses sosialisasi dengan hukum. Hukum sebagai mekanisme pengintegrasi hanya dapat menjalankan pekerjaannya tersebut dengan seksama apabila memang dari pihak rakyat memang ada kesediaan untuk menggunakan jasa pengadilan. Keadaan tersebut bisa diciptakan melalui masukan yang datang dari proses sosialisasi tersebut diatas. proses ini akan bekerjan dengan cara mendorong rakyat untuk menerima pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai pertukaran bagi masukan yang datang dari bidang budaya tersebut, maka keluaran yang datang dari pengadilan berupa keadilan.
      Di dalam suatu sistem sosial dapat dijumpai bekerjanya 4 proses-proses fungsional utama, yaitu:
·         Adaptasi;
·         Perwujudan tujuan;
·         Mempertahankan pola; dan
·         Integrasi.

Keempat proses itu saling kait-mengkait dan secara timbal-balik saling memberikan input. Setiap sub-proses memperoleh input dari ketiga lainnya. Sementara itu, output dari salah satu proses juga akan menjadi input bagi sub-proses yang lain.
Semua itu menunjukkan bahwa pemanfaatan hasil studi ilmu-ilmu sosial di dalam studi hukum sangat diperlukan. Ini tidak dapat terjadi bila kerangka berfikir yang kita ikuti masih tetap bertumpu pada aliran analisis-positivitis.
Sekalipun aliran analisis-positivitis melihat masalah pengaturan oleh hukum dari segi legitimasinya dan semata-mata dilihat sebagai ekspresi dari nilai-nilai keadilan, justru banyak tugas-tugas yang menyangkut pelaksanaan keadilan yang memerlukan keahlian-keahlian yang bersifat non-hukum, yang seringkali belum dikuasai benar oleh para petugas hukum yang ada pada saat ini.