pengaruhnya asas aktifitas hakim terhadap perlindungan hukum bagi pencari keadilan TUN

      Argumentum ad ignorantiam (AAI):
Kesesatan terjadi bila orang berargumen: proposisi sebagai benar karena tidak terbukti salah atau suatu proposisi salah karena tidak terbukti salah.
Dalam bidang hukum, Argumen ini dapat dilakukan, jika dimungkinkan oleh hukum acara.
-     Asas pembuktian hukum Perdata (psl 1865 KUHPer: penggugat harus membuktikan kebenaran dalilnya, sehinga jika tidak dapat membuktikan gugatan dapat ditolak.
-     Pasal 107 UU No. 5/1986 Hukum Acara PTUN : Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Degan dasar ini tidak tepat menolak gugatan dengan dasar Penggugat tidak dapat membuktikan dalilnya.

Asas keaktifan hakim (dominis litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak, karena tergugat adalah pejabat tata usaha Negara, sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam pasal 58 (kewenangan hakim memanggil penggugat dan tergugat asli), pasal 63 ayat 1 ( pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan), ayat 2 ( memberi nasihat kepada penggugat & meminta penjelasan dari Pejabat TUN / Tergugat), pasal 80 (hakim memberi petunjuk kepada para pihak), dan pasal 85 (memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh Pejabat TUN)

Dengan demikian, dari spesifikasi tersebut, terdapat ciri-ciri khusus didalam memberikan penilaian atau melakukan kontrol bagi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap tindakan hukum Pemerintah dalam bidang hukum publik, yaitu:
a) sifat atau karakteristik dari suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang selalu mengandung asas “prasumtio iustae causa”, yaitu bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara harus selalu dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera dilaksanakan,
b) asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau publik yang menonjol disamping perlindungan terhadap individu,
c) asas self respect dari aparatur pemerintah terhadap putusan-putusan peradilan administrasi, karena tidak dikenal adanya upaya pemaksa yang langsung melalui juru sita, seperti halnya dalam prosedur perkara perdata.

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (lihat Pasal 24 UUD 1945).
Prinsip pokok dalam kekuasaan kehakiman adalah terdapatnya jaminan independensi (kemerdekaan) dan sikap impartiality (tidak memihak) dari pelaksananya. Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri, terpisah dari Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan berlakunya UU No.9 Tahun 2004, segala urusan mengenai PTUN secara umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, tidak lagi berkaitan dengan Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan HAM).

Secara teoritis, realisasi Perbuatan Tata Usaha Negara (perbuatan administrasi negara) dapat digolongkan dalam tiga hal, yaitu : mengeluarkan keputusan (beschikking), mengeluarkan peraturan (regeling) dan melakukan perbuatan materiil (materiele daad). Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah mengadili Sengketa Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum privat dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pasal 4 UU PTUN).